Opini, ApaKalbar.com – Pemilu merupakan instrumen untuk melaksanakan demokrasi, bahkan di banyak negara demokrasi, Pemilu dianggap sebagai ikon sekaligus tolak ukur demokrasi. Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilihan Umum merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota (DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden) yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sebagai negara hukum, regulasi yuridis normatif tersebut harus ditegakkan demi terciptanya keadilan. Salah satu tahapan pemilu adalah kampanye. Dalam pelaksanaan pemilu, kampanye merupakan hal yang sangat substansial karena peserta Pemilu diberikan ruang untuk meyakinkan masyarakat dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra dari peserta Pemilu. Namun potensi pelanggaran Pemilu juga rawan terjadi dalam tahapan kampanye sebagai momen memperkenalkan diri kepada masyarakat untuk dipilih.
Dalam kampanye politik, setiap kandidat calon maupun tim kampanye perlu memperhatikan aturan-aturan yang sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 280 Ayat (1) huruf h yang memuat Larangan Kampanye yang berbunyi, “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.”
Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan kampanye politik boleh dilakukan di lingkungan kampus atau perguruan tinggi asalkan memenuhi ketentuan. Jika kita merujuk kepada UU Pemilu, pernyataan KPU bertentangan dengan undang-undang sehingga pasal ini menjadi polemik karena terkesan melanggar larangan kampanye sebagaimana yang disebutkan dalam UU Pemilu.
Sebelum menganalisa pasal tersebut, perlu diketahui bahwa dalam penjelasan Pasal 280 Ayat (1) huruf h memang memperbolehkan kampanye di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut dan kampanye dilakukan atas undangan dari lembaga tersebut.
Namun jika kampanye yang dilakukan menyangkut/ berisikan citra diri peserta pemilu, maka ini yang tidak diperbolehkan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menegaskan citra diri yang dimaksud adalah logo dan nomor urut parpol. Artinya ada ajakan perserta kampanye untuk memilih peserta pemilu di lingkungan pendidikan.
Selain itu, larangan dalam pasal ini hanya berlaku jika seseorang sudah ditetapkan menjadi peserta Pemilu. Sementara jika peserta Pemilu belum ditetapkan, maka segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan citra diri di tempat tertentu belum dapat ditindak sebagai pelanggaran Undang-Undang Pemilu dan aktivitas tersebut juga tidak dapat dikategorikan sebagai kampanye Pemilu karena kampanye dilakukan setelah adanya penetapan peserta Pemilu.
Lain halnya jika seseorang atau partai politik sudah ditetapkan menjadi Calon Tetap Peserta Pemilu, maka kampanye yang dilakukan pada lingkungan pendidikan termasuk pelanggaran UU Pemilu dan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Akan tetapi, mengingat lingkungan pendidikan terutama kampus yang memiliki civitas akademika yang mumpuni menjadi ruang media edukasi sekaligus adu gagasan dalam penyampaian visi dan misi peserta Pemilu, maka perlu dipertimbangkan larangan pada Pasal 280 Ayat (1) huruf h tersebut. Artinya, kampanye Pemilu perlu dipermisifkan dengan memberikan ruang yang sama bagi semua peserta Pemilu dan juga diberikan ketentuan dan mekanismenya.
Penulis: Agis Dahlia
Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Editor: Ika Ayuni Lestari