Opini, ApaKalbar.com – Dalam memilih para pemimpin negara, warga Indonesia pada umumnya menyelenggarakan Pemilu sebagai cara yang disahkan dan diakui oleh negara.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dijelaskan bahwa, “Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pemilu biasanya diselenggarakan untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Kabupaten/ Kota, dan DPRD Provinsi. Pemilu dilakukan atau diselenggarakan setiap lima (5) tahun sekali.
Tidak dapat kita pungkiri di Indonesia tercinta ini, seringkali terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam proses Pemilihan Umum, mulai dari proses pendaftaran anggota, pemberkasan, kampanye dan proses perhitungan surat suara, bahkan di daerah tertentu kita sering mendengar istilah serangan fajar atau politik uang.
Menurut Ahmad Hudri dalam bukunya Badai Politik Uang dalam Demokrasi Lokal (2020) dikatakan, politik uang atau money politics adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi, atau dapat juga diartikan sebagai jual-beli suara dalam proses politik dan kekuasaan. Bisa juga diartikan sebagai tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.
Pada Pasal 280 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Ayat 1 huruf h bahwa, “Dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.” dan huruf j menunjukkan bahwa, “Dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye Pemilu.”
Dalam pasal tersebut secara tegas mengatur tentang larangan yang tidak boleh dilakukan oleh peserta Pemilu. Namun pasal tersebut bukan menjadi suatu yang dikhawatirkan untuk dilanggar oleh para peserta pemilu, kenyataannya sering kali kita jumpai banyak sekali peserta pemilu yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Lembaga pendidikan dan tempat ibadah juga tidak ada jaminan steril dari kampanye jika musim Pemilu atau pemilihan tiba. Pernyatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa kampanye politik boleh dilakukan di lingkungan kampus atau perguruan tinggi sepanjang memenuhi sejumlah ketentuan, sebetulnya turut memberikan ruang ekpresi politik di kampus.
Bahwa kampanye di lingkungan kampus boleh dilakukan selama memberikan ruang yang sama bagi peserta pemilu lain, menurut Hasyim memiliki dua demensi.
Baca Juga: Pemuda & Pemilu 2024: The Winner or Losser
Dimensi yang pertama, kampus merupakan tempat yang kompatibel untuk menguji visi dan misi, serta program kerja para peserta pemilu, dengan cacatan dalam pelaksanaan kampanye di lingkungan kampus sejumlah ketentuan yang dipenuhi semisal undangan dari pihak penanggungjawab fasilitas pemerintah sebagaimana termaksud dalam pasal penjelasan Pasal 280 Undang-Undang Pemilu, termasuk memberikan kesempatan yang sama bagi peserta pemilu.
Jika ada tiga orang calon yang melakukan kampanye, maka seluruh calon tersebut diberikan ruang yang sama untuk berkampanye di lingkungan kampus.
Dimensi yang kedua, kampus atau tempat pendidikan yang selama ini dianggap “netral”, dikhawatirkan berubah wujud menjadi wadah dinamika politik yang sama dengan ruang politik awam. Dukung-mendukung menjadi tidak terhindari untuk menentukan standing position guna meraih kepentingan segelitir orang atau kelompok intelektual kampus.
Jika ini terjadi maka yang sangat dirugikan adalah mahasiswa, karena akan turut terobang-ambing oleh gelombang politik yang tak berkesudahan. Belum lagi persoalan godaan politik uang yang sudah lumrah dalam setiap kontestasi Pemilihan Umum.
Mahasiswa secara personality dan integrity yang selama ini menjadi bagian dari kekuatan pendobrak dan lantang menyuarakan keadilan, tegakkan hukum, dan tolak politik uang, dikhawatirkan akan lunglai ketika berhadapan dengan rupiah. Dimensi yang kedua ini jika betul terjadi akan menjadi bahaya laten terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Karena itu, kendati kampanye di tempat pendidikan semisal kampus tidak melanggar norma sebagaimana Pasal 280 Ayat 1 huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tetapi efek lainnya justru akan menimbulkan gejolak misal ketegangan antar kampus karena dukungan politik yang berbeda, serta godaan politik uang di tingkat mahasiswa.
Saya akan lebih setuju apabila partai politik menggandeng kampus untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang inovatif untuk kemajuan bangsa daripada melakukan kunjungan kerja hanya pada saat masa-masa kampanye.
Pelanggaran pemilu yang juga sering kita jumpai dan sudah menjadi rahasia publik yaitu tertulis pada Pasal 280 Ayat 1 huruf j, “Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye Pemilu.” Pelanggaran tersebut adalah pelanggaran yang sering sekali kita jumpai dalam proses Pemilihan Umum.
Kenyataannya di lapangan, masyarakat sangat senang dijanjikan dan diberi uang oleh para peserta Pemilu yang ingin memenangkan atau menjabat sebagai pemimpin rakyat dengan cara yang tidak benar atau melanggar aturan normatif yang sudah ada.
Tidak menutup kemungkinan pelanggaran dengan pemberian uang atau menjanjikan materi terjadi di lingkungan kampus. Tentunya hal tersebut dilakukan oleh oknum peserta Pemilu yang tidak bertanggungjawab.
Hal seperti inilah yang sangat dikhawatirkan masuk ke tempat pendidikan dalam hal ini kampus. Yang seharusnya ditangulangi guna terciptanya lingkungan kampus yang bersih dari politik uang, menjadi medan perputaran politik uang.
Seyogyanya seluruh masyarakat kampus berperan penting dan harus peka apabila ada kemungkinan peserta pemilu yang ingin melakukan kampanye bahkan menjanjikan uang maupun materi, hal tersebut penting karena kampus merupakan tempat akademisi yang harus bersih dari kegiatan politik kotor.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga menuliskan akibat pidana dari tindakan melanggar aturan tersebut, yaitu larangan mengenai kampanye di tempat pendidikan, memberikan materi atau uang dalam proses Pemilu.
Akibat pidana apabila melanggar aturan-aturan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang lebih jelasnya tertulis pada Pasal 521, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Sudah selayaknya dalam melaksanakan Pemilu haruslah menaati peraturan normatif yang ada, bukannya malah melanggar dan menghalalkan segala cara untuk menuju suatu kemenangan dalam proses Pemilihan Umum, selanjutnya perlu kesadaran dan revolusi mental untuk para calon pemimpin negara kita dan juga tak terkecuali untuk segala lapisan masyarakat yang ada karena semuanya memiliki peranan penting dalam proses Pemilihan Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan aturan normatif tersebut bukanlah suatu yang menakutkan untuk para peserta Pemilu yang ingin memenangkan atau menjadi pemimpin dengan cara yang tidak sesuai dengan asas-asas pemilihan umum.
Khawatiran yang paling penting untuk direnungkan adalah jika kampanye kampus menjadi sesuatu yang lumrah dan masyarakat kampus tak mampu menahan godaan politik uang dan dukung mendukung, maka pelaku pidana politik uang kedepan bukan hanya terjadi pada masyarakat awam, masyarakat kampus juga menjadi bagian yang menumbuh-suburkan politik uang.
Konsekuensi lanjutannya, banyak akademisi dan mahasiswa yang tak mampu dengan godaan politik uang dan berurusan dengan hukum. Jika sudah demikian, maka masyarakat kampus yang seyogyanya menjadi bagian dari pilar demokrasi, runtuh berkeping-keping seiring dengan laju zaman.
Penulis: Yusri Ramba
Mahasiswa FH UNTAN Semester 7
Editor: Ika Ayuni Lestari