Opini, ApaKalbar.com – Sejak awal tahun 2022, polemik di masyarakat Indonesia semakin menyebabkan pasang-surut pasca pandemi Covid-19. Sehingga banyak kebijakan-kebijakan pemerintah dinilai kurang tepat dalam menangani problematika di negara ini.
Salah satunya hal yang menjadi poin utama saat ini keresahan warga tiap daerahnya yaitu kestabilan ketersediaan minyak semakin tahun akan semakin melonjak. Bahkan yang diketahui bahwa kondisi perekonomian pada harga minyak dunia sulit dijangkau sejak tanggal 10 Maret 2022 bersumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hal ini membuat pemerintah memutuskan untuk meniadakan peredaran BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis premium. Kementerian ESDM pun memutuskan sudah tidak lagi menjual BBM Research Octane Number atau dikenal dengan RON 88 tersebut.
Tak lama setelah Kementerian ESDM meniadakan BBM jenis premium, pemerintah juga mengambil langkah untuk menaikan harga bahan bakar jenis Pertamax serta menaikan produk subsidi seperti tarif pada gas elpiji 3 kilogram, listrik, dan BBM (Bahan Bakar Minyak).
Kenaikan harga minyak jenis pertamax pun diberlakukan pada tanggal 1 April 2022 disampaikan langsung oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir saat memberikan kuliah umum di Gedung Rektorat Univeristas Hassanudin Makassar.
Kemudian ketika kita mengulang kembali era kepemimpinan pemerintahan presiden ke-6 waktu itu tercatat hanya mengalami kenaikan sebanyak 3 kali masa itu. Hal ini pun sebalikan dengan kebijakan pemerintah presiden ke-7, terdapat pro dan kontra mengenai kenaikan harga BBM.
Salah satunya yang dirasakan dari kenaikan harga BBM ini lebih banyak menimbulkan efek negatifnya seperti akan terjadi efek domino pada perekonomian Indonesia salah satu masalah besarnya yaitu terhambatnya pertumbuhan ekonomi akibat imbas naiknya harga barang dan jasa.
Baca Juga: Aliansi Mahasiswa Singkawang Duduki Gedung DPRD, Tolak Kenaikan BBM dan Isu Regional
Apalagi lajunya inflasi semakin bertambah, ini pula menjadi polemik bahkan ketika melihat kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis pertalite. Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga pertalite menjadi Rp10.000 perliter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi (krisi ekonomi), yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.
BBM bukan sekadar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir semua sektor terdampak. Misalnya harga pengiriman bahan pangan akan naik di saat yang bersamaan, pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk.
Masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekali pun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya. Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri seperti pakaian hingga makanan maupun minuman bahkan logistik semuanya akan terdampak.
Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko ambil jalan pintas dengan lakukan PHK massal. Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya-biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali menurun, hal ini imbas dari kenaikan harga BBM juga menurunkan daya beli masyarakat.
Dampak kenaikan ini yaitu kuota BBM akan meningkat sehingga tidak habis pada Oktober. Di sisi lain kenaikan ini akan diikuti oleh inflasi, perkiraan inflasi September bisa mencapai 7,25 persen, lalu sedikit turun di bulan berikutnya. Kemudian angka kemiskinan akan naik 10 persen. Langkah penyesuaian ini pun tidak dapat terhindarkan karena kuota BBM sudah menipis, dan subsidi memang perlu dialihkan ke orang kurang mampu dari pada diberikan kepada pemilik kendaraan yang umumnya bukan orang miskin.
Baca juga: Usmandy Minta Pemerintah Serius Antisipasi Dampak Kenaikan BBM
Apalagi saat ini diketahui harga BBM: Pertalite (Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter), Solar subsidi (Rp5.150 perliter menjadi Rp6.800 per liter), Pertamax non subsidi (Rp12.500 perliter menjadi Rp14.500 perliter).
Justru hal ini sebetulnya menyulitkan bagi masyarakat, di sisi lain pastinya seperti di daerah pedalaman dengan akses sulit ditempuh perjalanan menuju kabupaten atau ibu kota provinsi ini menandakan nilai jual akan lebih mahal nantinya.
Dengan hal seperti ini, pemerintah sepatutnya mengambil kebijakan yang dinilai positif untuk kestabilan perekonomian masyarakat dalam artian mewujudkan nilai-nilai kesejahteraan rakyat (welfare state) dan ini yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa.
Penulis: Muhammad Adib Alfarisi
Editor: Ika Ayuni Lestari