Pontianak – Beberapa waktu terakhir, lini masa media sosial ramai dengan seruan boikot terhadap Trans7. Reaksi keras muncul dari sebagian umat Islam yang menilai ada tayangan yang dianggap menyinggung simbol-simbol keagamaan. Seruan itu segera bergema di berbagai platform digital: ada yang mendukung penuh, ada pula yang menganggapnya berlebihan dan tidak berdasar.
Namun di balik riuhnya tagar dan video reaksi, terselip kegelisahan yang lebih dalam: mengapa setiap isu keagamaan kini begitu mudah memecah belah umat Islam sendiri?
Kasus boikot Trans7 hanyalah satu contoh terbaru dari retaknya ukhuwah Islamiah di tengah umat — persaudaraan yang seharusnya menjadi pilar kekuatan justru mulai goyah.
Dari Niat Baik ke Perpecahan
Dalam ajaran Islam, membela kebenaran adalah bagian dari iman. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar — menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran — menjadi fondasi moral umat. Maka, wajar bila umat merasa terpanggil saat agamanya dianggap dilecehkan.
Namun yang sering terlupa, cara membela agama sama pentingnya dengan niatnya.
Ketika kemarahan diekspresikan tanpa tabayyun (klarifikasi), dan ketika kritik berubah menjadi caci maki, maka niat mulia itu kehilangan maknanya.
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain; ia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya (dalam kesulitan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sederhana, tapi dalam maknanya: membela Islam tidak bisa dilakukan dengan merusak persaudaraan sesama Muslim. Sayangnya, itulah yang kerap terjadi hari ini. Umat terbelah bukan karena perbedaan agama, melainkan karena perbedaan cara membela agama.
Organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia kembali diwarnai dinamika yang kompleks di era digital ini. Berbagai ormas Islam, baik yang mapan maupun yang baru tumbuh, kini bersinggungan dalam memperebutkan pengaruh dan representasi suara umat Muslim Indonesia.
Fenomena ini terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir, di mana perbedaan pendapat mengenai isu-isu keagamaan, politik, hingga sosial kemasyarakatan kerap memicu gesekan antar-ormas. Mulai dari perdebatan soal tafsir ajaran agama, hingga sikap politik dalam kontestasi pemilihan umum.
Pengurus Badko HmI Kalimantan Barat Rafli Maulana menilai, bersinggungannya ormas-ormas Islam ini lahir dari beberapa faktor. Pertama, perbedaan ideologi dan interpretasi keislaman yang memang sudah mengakar sejak lama. Kedua, kompetisi dalam memperebutkan basis massa di tengah masyarakat yang semakin kritis dan terpolarisasi.
“Ormas-ormas Islam di Indonesia memiliki latar belakang sejarah dan ideologi yang berbeda. Ada yang moderat-tradisionalis, ada yang modernis, hingga yang konservatif. Perbedaan ini wajar, tapi yang perlu diwaspadai adalah ketika perbedaan itu menjelma menjadi konflik terbuka,” ujar Rafli Maulana Fungsionaris Pendidikan, Sosial Dan Kesejahteraan Masyarakat Badko HmI Kalbar.
Era digital turut memperkeruh situasi. Media sosial menjadi arena baru pertarungan wacana dan narasi antar-ormas. Tidak jarang, polemik yang sebenarnya bisa diselesaikan secara internal justru melebar menjadi konsumsi publik yang memecah belah.
Para tokoh lintas ormas Islam sebenarnya menyadari pentingnya menjaga persatuan umat. Namun, tantangan struktural dan politik identitas yang menguat membuat upaya konsolidasi tidak selalu berjalan mulus.
Meski dinamika persinggungan antar-ormas masih terus terjadi, ada secercah harapan dari generasi muda Muslim yang lebih terbuka dan inklusif. Mereka mulai membangun ruang-ruang dialog lintas organisasi dengan pendekatan yang lebih humanis dan substansial.
Kedepan, tantangan terbesar kita adalah bagaimana menjaga ukhuwah islamiyah agar tetap utuh dan terjaga dengan baik. Sehingga baik itu kelompok hingga ormas Islam dapat saling berkontribusi secara sehat untuk kepentingan ummat dan bangsa tanpa menciptakan keretakan ditubuh umat Islam sendiri.