Abstrak
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sisitem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dalam kompetensi obyek perkara ketatanegaraan.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi yang ada di Indonesia untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian atas undang-undang terhadap UUD 1945 yang biasa dikenal judicial review. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum.
Baca Juga: Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir konstitusi yang bersifat final yang memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi. Jadi keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga tinggi di Indonesia harus mempertimbangkan nilai demokrasi dan hak konstitusional warganegara atau hak asasi manusia (HAM) dengan tujuan untuk menegakkan hukum yang adil bagi seluruh rakyat.
Pendahuluan
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang didampingi oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada di bawahnya. Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga yang ada setelah adanya amandemen UUD NRI 1945.
Dalam konteks ini, ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional dalam kehidupan masyarakat; Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab; Ketiga, di tengah kelemahan konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar kostitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat (Yunus, 2017).
Reformasi yang terjadi di Indonesia sebanyak empat kali menghasilkan perubahan dalam UUD 1945 yang membawa nuansa baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem pembagian kekuasaan secara horizontal fungsional menggantikan bentuk yang vertikal hirarkis, di mana Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara tertinggi berada di puncak kekuasaan.
Dengan perubahan secara horizontal fungsional tersebut maka kedudukan lembaga-lembaga menjadi serata. Masing-masing lembaga secara fungsional melakukan pengawasan terhadap lembaga negara lain sebagai penyelenggara kekuasaan negara.
Tujuan dari perubahan tersebut untuk pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat, transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
Kedudukan rakyat yang berada di tangan rakyat, tadinya dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan perubahan ketiga kedaulatan rakyat tersebut kemudian dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Baca Juga: Penanganan Karhutla 2023: Kalbar Masuk Provinsi Prioritas
Dengan perubahan tersebut, maka terjadi pergeseran dari sistem supremasi parlemen di MPR merupakan lembaga tertinggi negara menjadi sistem dengan supremasi konstitusi, di mana kostitusi ditempatkan sebagai hukum yang tertinggi.
Yang menjadi sumber legitimasi dari peraturan perudang-undangan yang dibentuk dan berlaku. Terdapat tiga ciri utama yang menjadi prinsip supremasi konstitusi, yaitu: 1) Pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum yang lainnya; 2) Terikatnya pembuat undang-undang oleh Undang-Undang Dasar; 3) Adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalisme tindakan hukum pemerintah atau pembentuk UU (Siahaan, 2009).
Perubahan atau amandemen konstitusi membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan terutama pasca reformasi, salah satu perubahan tersebut yaitu diaturnya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK), di samping Mahkamah Agung (MA).
Mahkamah Konstitusi diatur dalam BAB IX Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan tersebut baik MA maupun Mahkamah Konstitusi kedudukannya setara yaitu sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam tugas dan wewenang masing-masing. Kedua lembaga ini merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman yang terpisah dari pemerintah dan lembaga permusyawaratan perwakilan.
Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24 C Ayat (1) yakni, “Sebagai lembaga peradilan yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, membubarkan partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.”
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD merupakan fenomena baru dalam kehidupan ketatanegaraan. Pasca dibentuknya lembaga Mahkamah Konstitusi ini, permohonan pengujian undang-undang semakin meningkat.
Peningkatan baik kualitatif maupun kuantitatif pengujian undang-undang merupakan bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusionalisme di Indonesia (Salia, 2013).
Baca Juga: Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa
Metode Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini akan membahas bagaimana kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan di Indonesia dan bagaimana peran Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan prinsip negara hukum yang demokrasi.
Metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini adalah metode yuridis normatif, artinya dengan meghubungkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang ada di Indonesia dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sehingga diperoleh permasalahan yang menyeluruh terkatit tema dan objek penelitian.
Bahan penelitian ini diambil dari sumber hukum yang digunakan adalah perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu juga bahan dari penelitian ini juga mengambil dari tinjauan keputusan yang ada di buku, jurnal, dan artikel.
Data dari artikel ini disajikan secara deskriptif yang menampilkan suatu karya ilmiah yang dikembangkan dan diaplikasikan berkelanjutan.
Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan bahan bacaan dan literatur yang memuat isu-isu yang diangkat oleh penulis dan berkaitan dengan tema. Bahan tersebut kemudian diolah, ditelaah, dan diklasifikasikan supaya menjadi data sekunder yang valid dan dapat dipahami.
Diharapkan dengan menggunakan metode ini, penulis dapat mengetahui lebih dalam terhadap isu-isu yang diangkat oleh penulis.
Pembahasan
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Ketatanegaraan
1. Pengertian kedudukan
Kedudukan berarti status baik untuk seseorang, tempat, maupun benda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kedudukan diartikan dalam dua makna yaitu kedudukan sebagai status dan kedudukan sebagai tingkatan sosial. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang dalam pergaulan, serta hak dan kewajibannya sebagai salah satu penentu kedudukannya di masyarakat.
Kedudukan juga dapat diartikan sebagai posisi jabatan seseorang dalam memiliki sebuah kekuasaan, di mana orang yang memiliki kekuasaan tersebut dapat mempengaruhi kedudukan dan statusnya di masyarakat tempat ia tinggal.
Baca Juga: Asisten III Sekda Prov Kalbar Bahas Pelayanan Publik dengan Tim Kemenko Polhukam
Kedudukan pada masyarakat memiliki tiga macam yaitu:
- Ascribed status, kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan seorang anak bangsawan adalah bangsawan. Umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, seperti masyarakat feudal.
- Achieved status, kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang guru asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut bergantung pada yang bersangkutan bisa atau tidak bisa menjalaninya. Apabila yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, ia tidak akan mendapatkan kedudukan yang diinginkan.
- Assigned status, kedudukan yang diberikan pada seseorang. Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan achieved status. Suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan adalah status yang dimiliki seseorang, di mana status itu memberikan tugas dan tanggung jawab. Kedudukan juga dapat mempengaruhi keadaan lingkungan sekitarnya dalam masyarakat (Pramana, 2019).
2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan judicial review yang terjadi di berbagai negara. Perkembangan judicial review yang paling berpengaruh terhadap keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi adalah pada saat pelaksanaan judicial review yang dipelopori oleh John Marshall dalam kasus Marbury versus Madisin.
Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Saat pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya Mahkamah Konstitusi muncul kembali.
Pada akhirnya, dengan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat lahirlah sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi yang merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstiusi sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ini setingkat dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab (Darmadi, 2011).
Kekuasaan kehakiman yang merdeka di sini diartikan sebagai kekuasaan yang tidak terikat, lepas, dan tidak tunduk pada kekuasaan yang lain.
Dalam beberapa literatur hukum, dikenal adanya judicial independence (kemerdekaan yudisial) kemerdekaan yudisial adalah kemerdekaan dari segala macam bentuk pengaruh dan campur tangan kekuasaan lembaga lain baik eksekutif maupun legislatif. Kemerdekaan yudisial lebih bersifat struktural kelembagaan, yakni dalam hubungan antara lembaga kenegaraan (Azhari, 2005).
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjadi pengawal konstitusi. Mahkamah Konstitusi bertugas untuk menegakkan konstirusi yang ada di Indonesia (menegakkan hukum dan keadilan).
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan sistem hukum yang ada di Indonesia, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan dan kewenangan untuk menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum (Gaffar, 2009).
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dalam kompetensi obyek perkara ketatanegaraan yang ada di Indonesia.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi yang ada di Indonesia untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme dalam Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dengan batasan yang jelas sebagai bentuk penghormatan atas konstitusionalisme.
Baca Juga: PKBH FASYA Tandatangani SPK POSBAKUM PA Nanga Pinoh
Dasar dan filosofis dari wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Teori-teori hukum juga memperkuat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta segenap wewenang dan kewajibannya dinilai telah mengubah ajaran supremasi perlemen menjadi ajaran supremasi konstitusi.
Sebagai organ konstitusi, Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjadi pengawal dan penafsir Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional yang berupaya untuk menjalankan visi kelembagaannya, yakni tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Visi tersebut menjadi pedoman bagi lembaga Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang diembannya secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi ini beserta kewenangan yang dimilikinya terpicu akibat buruknya penyelenggaraan negeri pada saat masa orde baru yang ditandai dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dicampakkannya nilai-nilai keadilan hukum serta hak-hak konstitusional warga negara.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia sangat penting untuk melindungi dan mengemban suara rakyat.
Dengan putusan-putusannya, Mahkamah Kostitusi merupakan jawaban atas segenap permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat terhadap undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan berlaku di Indonesia yang dinilai oleh masyarakat bertentangan dengan konstitusi (Darmadi, 2011).
Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Prinsip Negara Hukum yang Demokrasi
Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian atas undang-undang terhadap UUD 1945 yang biasa dikenal judicial review. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain menurut Jimly dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum.
Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir konstitusi yang bersifat final yang memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi, di samping itu, Mahkamah Konstitusi sebagi pengawal demokrasi pelindung hak konstitusional warganegara, serta pelindung hak asasi manusia (HAM) (Siahaan, 2009).
Konteks prinsip penegakan hukum dan konstitusi, Mahkamah Konstitusi melakukan beberapa hal yang dianggap sebagai terobosan hukum. Terobosan hukum tersebut dapat dilihat dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
Secara kelembagaan, ada beberapa peristiwa yang dapat dianggap mewakili bagaimana Mahkamah Konstitusi telah memberikan perubahan yang amat berharga bagi penegakan hukum di negara ini.
Perkara permohonan hak warga negara untuk dapat menggunakan hak suaranya dalam Pemilihan Umum yang disebabkan oleh tidak terdaftarnya identitas mereka dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diterbitkan oleh KPU.
Pada kasus tersebut Mahkamah Konstitusi berani mengambil keputusan untuk mengizinkan mereka yang tidak tercantum namanya dalam DPT untuk menggunakan hak suaranya dangan menggunakan tanda pengenal legal yang tersedia seperti KTP, Paspor, Kartu Keluarga, dan lain-lain.
Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi nomor 102/PUU-VII/2009 pemohon menyatakan bahwa:
- Bahwa Undang-Undang 42/208 memuat ketentuan serupa yang terkandung dalam Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1). Bunyi dari Pasal 28 yaitu: “Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar sebagai pemilih.”
Bunyi dari Pasal 111 Ayat (1): “Pemilih yang berhak menggikuti pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara meliputi; a) Pemilih yang terdaftar Pada DPT di Tempat Pemungutan Suara yang bersangkutan, dan b) Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tambahan.” - Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1) UU 42/2008, hak konstitusional para pemohon yaitu hak memilih yang berpotensi untuk dirugikan. Para pemohon terancam tidak dapat memilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009 bila tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut sebagian dan berpendapat bahwa:
- Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak yang dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. Hal tersebut sejalan dangan apa yang turut diatur dalam UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Reghts;
- Bahwa hak-hak warga negara untuk memilih sebagimana diuraikan di atas telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konsititusional warga negara, sehingga oleh karena itu hak konstitusional di atas tidak boleh dihambat dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya;
- Bahwa ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT merupakan prosedur adminstasi dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih dalam Pemilihan Umum. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat diperlukan adanya solusi untuk melengkapi DPT yang sudah ada sehingga penggunaan hak pilih warga negara tidak terhalangi;
- Olah karena itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presidan dan Wakil Presiden adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dangan syarat dan cara sebagai berikut: (I) Selain WNI yang terdaftar dalam DPT, WNI yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku dan Paspor yang masih berlaku untuk WNI yang berada di luar negeri; (II) WNI yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga; (III) Penggunaan hak pilih bagi WNI yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara yang berada di RT/RW sesuai alamat yang tercantum di KTP-nya; (IV) WNI sebagaimana disebutkan di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; (V) WNI yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS luar negeri setempat (Aritonang, 2013).
Baca Juga: Bidang Diklat DEMA Fasya, HMPS HKI dan HMPS HES IAIN Pontianak Gelar Seminar Bedah Pasal
Putusan Mahkamah Konstitusi di atas selain menegakan hukum yang adil, putusan ini juga bentuk dari penegakan demokrasi di negara Indonesia. Demokrasi sendiri mempunyai arti, secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata Yunani yaitu “demos” berarti rakyat dan “cratos” berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Gabungan dari kedua kata tersebut memiliki arti suatu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya, kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.
Secara istilah, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat, menurut Joseph. A. Schmeter.
Sedangkan menurut Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi seperti suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih.
Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Disimpulkan dari beberapa pendapat di atas bahwa sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara, hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial dan politik namun hakikat sejatinya bawa “demos” dalam demokrasi merupakan kumpulan orang-orang yang memang benar-benar mampu untuk bernegara (Nurita, 2015).
Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan pada asas kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan demi kesejahteraan rakyat, dalam demokrasi Pancasila sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat (Yusdiyanto, 2016).
Penegakan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 102/PUU-VII/2009 sangat mempertimbangkan sistem demokrasi karena seluruh rakyat Indonesia (tanpa terkecuali) dalam arti demokrasi mempunyai kedaulatan atau hak suara untuk memilih dan memutuskan siapa yang akan menjadi pemimpin negara ini.
Baca Juga: Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa
Dari putusan ini Mahkamah Konstitusi menjalankan perannya dalam mewujudkan negara hukum yang demokrasi dengan baik dan tepat.
Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga yang ada setelah adanya amandemen UUD NRI 1945. Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan judicial review yang terjadi di berbagai negara.
Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat lahirlah sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi yang merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstiusi sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ini setingkat dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjadi pengawal dan penafsir Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.
Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian atas undang-undang terhadap UUD 1945 yang biasa dikenal judicial review. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain adalah sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum.
Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir konstitusi, di samping itu Mahkamah Konstitusi sebagi pengawal demokrasi dan pelindung hak asasi manusia (HAM).
Keputusan dari Mahkamah Konstitusi harus bersifat adil bagi seluruh rakyat Indonesia dan tidak melanggar nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh negara Indonesia karena keputusan dari Mahkamah Konstitusi ini bersifat final.
Penulis:
1. Diantika Chayani
Mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Pontianak
2. Arif Wibowo
Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Pontianak
Daftar Pustaka
Aritonang, D. M. (2013). Peranan Dan Problematika Mahkamah Konstitusi (Mk) Dalan Menjalankan Fungsi Dan Kewenagannya. Jurnal Ilmu Administrasi, 10(3), 373-389.
Azhari, A. F. (2005). Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Bertanggung Jawab Di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan. Jurisprudence, 2(1), 89-118.
Darmadi, N. S. (2011). Kedudukan Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum, 26(2), 667-690.
Gaffar, J. M. (2009). Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Surakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Nurita, R. F. (2015). Kajian Filsafat Hukum Tentang Demokrasi Di Indonesia. Jurnal Cakrawala Hukum, 6(1), 89–98.
Pramana, A. A. (2019). Analisis Kedudukan Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Makasar: Universitas Muhammadiyah Makasar.
Siahaan, M. (2009). Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi. Jurnal Hukum, 16(3), 357 – 378.
Salia, E. (2013). Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokratis. Jurnal Hukum, 1-24.
Yunus, M. (2017). Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Rancangan Undang-Undang Yang Telah Disetujui Bersama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perkara Nomor: 97/PUU-XII/2014). Makassar: Universitas Hasanuddi.
Yusdiyanto. (2016). Makna Filosofis Nilai-Nilai Sila Ke-Empat Pancasila Dalam Sistem Demokrasi Di Indonesia. Jurnal hukum, 10(2), 221-412.