Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa

Hukum
Ilustrasi: Pixabay.com

Abstrak

Di Indonesia, PTUN merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang secara struktur organisasi berada di bawah Mahkamah Agung dan tidak berdiri sendiri seperti pada negara-negara yang mendasarkan sistem hukumnya pada hukum sipil yang dikodifikasikan pada umumnya, dikarenakan berada di bawah Mahkamah Agung maka pembinaan teknis peradilan.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak masyarakat yang dirugikan atas berlakunya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan.

Bacaan Lainnya

Selain itu kewenangan PTUN dalam menilai tindakan pejabat pemerintahan dapat digunakan sebagai suatu kontrol atau pengawasan terhadap pejabat pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 47 ditegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (PTUN).

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki badan peradilan yang merdeka dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungaan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan[1]. Penelitian ini terfokus pada kekuasaan kehakiman Peradilan Tata Usaha Negara yang ada di Indonesia.

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 telah diatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki wewenang untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara akibat keluarnya keputusan tata usaha negara oleh pejabat maupun badan tata usaha negara baik di tingkat pusat atau daerah.

Kewenangan ini berkembang sejalan dengan praktik penyelenggaraan pemerintah yang juga semakin luas dan timbulnya lembaga negara yang mendukung terlaksananya pemerintahan di Indonesia (Putrijanti, 2015).

Di Indonesia PTUN merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang secara struktur organisasi berada di bawah Mahkamah Agung dan tidak berdiri sendiri seperti pada negara-negara yang mendasarkan sistem hukumnya pada hukum sipil yang dikodifikasikan pada umumnya, dikarenakan berada di bawah Mahkamah Agung maka pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Baca Juga: Hoax Tantangan Serius Pesta Demokrasi 2024

Secara normatif, PTUN bukan pengadilan yang mandiri di luar kekuasaan kehakiman (yudisial), sehingga sistem penyelesaian sengketa tata usaha negara mengikuti pola penyelesaian sengketa perdata yang mengenal istilah pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

Metode Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini akan membahas bagaimana kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara dan tenggang waktu mengajukan gugatan dalam penyelesaian sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini adalah metode yuridis normatif artinya dengan meghubungkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang ada di Indonesia dan putusan-putusan dalam undang-undang sehingga diperoleh permasalahan yang menyeluruh terkait tema dan objek penelitian.

Bahan penelitian ini diambil dari sumber hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan perundang-undangan. Selain itu bahan dari penelitian ini juga mengambil dari tinjauan keputusan yang ada di buku, jurnal, dan artikel.

Data dari artikel ini disajikan secara deskriptif yang menampilkan suatu karya ilmiah yang dikembangkan dan diaplikasikan berkelanjutan.

Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan bahan bacaan dan literatur yang memuat isu-isu yang diangkat oleh penulis dan berkaitan dengan tema. Bahan tersebut kemudian diolah, ditelaah, dan diklasifikasikan supaya menjadi data sekunder yang valid dan dapat dipahami.

Diharapkan dengan menggunakan metode ini, penulis dapat mengetahui lebih dalam terhadap isu-isu yang diangkat oleh penulis.

Baca Juga: Polemik Kampanye di Kampus

Pembahasan

1. Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara

Terbentuknya sistem peradilan Prancis dan Inggris tidak lepas dari sejarah politik yang melatarbelakangi pembentukan PTUN di Indonesia. Latar belakang pembentukan PTUN tidak hanya sebatas berbicara mengenai asas-asas hukum administrasi negara dan asas-asas peradilan, tapi yang lebih menonjol adalah kepentingan politik penguasa antara DPR dan pemerintah.

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) secara formal dikenalkan oleh UU Nomor 19 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan, ihwal PTUN diatur dalam Bab III tentang Peradilan Tata Usaha Pemerintah yang terdiri atas dua pasal yaitu Pasal 66 dan Pasal 67.

Membentuk PTUN di Indonesia, pemerintah telah melakukan upaya mempelajari sumber utama rezim administratif Prancis dan Belanda.

Menteri Kehakiman Bidang Hukum Lingkungan-Lingkungan Internasional St. Munadjat Danusaputro ditugaskan oleh Menteri Kehakiman RI pada Oktober 1975 untuk meninjau Conseil d’Etat. Setelah dipelajari sistem PTUN di Prancis dijalankan oleh eksekutif.

Secara struktur organisasi, sistem PTUN di Prancis tidak dapat diterapkan di Indonesia karena pada Pasal 24 UUD 1945 jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 10 Ayat (1) dan (2) mengamanatkan bahwa PTUN berada dalam kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung.

Sedangkan di Belanda tidak ada Lembaga PTUN yang mandiri terpisah dari peradilan utama seperti di Prancis.

Sistem Peradilan tata usaha negara di Prancis dan belanda berpuncak kepada dewan negara (Eksekutif) atau lembaga yang dikhususkan untuk jadi prinsip rechtsstaat yang berkarakter administratif menonjol. Sedangkan di Indonesia, PTUN berpuncak ke Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial, jadi masih kental dengan nuansa rule of law yang berkarakteristik yudisial (Dani, 2018).

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, adapun tujuan dibentuknya peradilan ini untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib yang dapat menjamin kedudukan masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, dan selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para masyarakat.

Baca Juga: Problematika Kampanye di Kampus dan Politik Uang

Sebelum amandemen UUD 1945, Indonesia menganut sistem divisi of power (pembagian kekuasaan). Lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara.

Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedudukan rakyat, MPR sering dikaitkan sebagai rakyat itu sendiri.

Kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara di bawah MPR yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tertinggi negara.

Pasca amandemen UUD 1945, sistem divisi of power diganti dengan sistem separation of power (pemisahan kekuasaan), lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.

Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD, pada saat ini kedudukan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga saja, melainkan oleh UUD.

Kedudukan rakyat sekarang tidak lagi terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan sejajar atau sederajat (Gaffar, 2009).

Sistem separation of power ini menyamaratakan kedudukan antara lembaga kekuasaan legislatif yaitu lembaga yang membuat undang-undang (MPR, DPR, dan DPD), lembaga eksekutif yaitu lembaga yang melaksanakan undang-undang (Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri), lembaga yudikatif yaitu lembaga yang bertugas mengadili pelanggaran undang-undang (Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komidi Yudisial (KY)), dan lembaga eksaminatif yaitu lembaga yang memiliki kewenangan memeriksa keuangan negara (Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)).

Keempat lembaga ini dalam ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan yang setara atau sederajat, yang membedakan mereka hanyalah tugas dan wewenang masing-masing lembaga.

Baca Juga: Pemuda Sintang Tanggapi Kenaikan Harga BBM

Penelitian ini terfokus pada lembaga yudikatif yaitu lembaga peradilan yang mengadili pelanggaran terhadap undang-undang. Lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstiusi, dan Komisi Yudisial.

Di bawah Mahkamah Agung terdapat badan peradilan lagi yaitu Badan Peradilan Umum (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri), Badan Peradilan Agama (Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama), Badan Peradilan Militer (Pengadilan Militer Utama, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer), dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara) (Yulistyowati, Pujiastuti, & Mulyani, 2016).

Mahkamah Agung memiliki tugas dan wewenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman sesuai dalam Pasal 24 Ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 (Sunarto, 2022).

Dilihat dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa kedudukan dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berkedudukan sama rata dengan badan peradilan yang lainnya di bawah pengawasan Mahkamah Agung sebagai salah satu bagian dari lembaga yudikatif yang bertugas mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang.

2. Tugas dan Wewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak masyarakat yang dirugikan atas berlakunya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan.

Selain itu kewenagan PTUN dalam menilai tindakan pejabat pemerintahan dapat digunakan sebagai suatu kontrol atau pengawasan terhadap pejabat pemerintahan.

Peradilan Tata Usaha Negara pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah sebayak dua kali.

Pertama, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Perubahan kedua, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Peraturan Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Koesoemahatmadja ialah peradilan terhadap perkara administrasi negara murni dan perkara perdata yang menyangkut administrasi negara yakni perkara-perkara perdata sebagai akibat dari perbuatan administrasi negara.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dikatakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.

Baca Juga: Pemerintah Harus Wujudkan Kebijakan BBM Satu Harga

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 47 ditegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (PTUN).

Adapun obyek sengketa yang masuk dalam kewenangan PTUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berupa KTUN. Kemudian pasca berlakunya UU Nomor 30 Tahun 2014, kewenangan PTUN mengalami perluasan yakni dapat menilai, ada atau tidak unsur-unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 Ayat (1) UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dikatakan bahwa pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan (Akbar, 2020).

Subjek sengketa Tata Usaha Negara adalah perseorangan dan badan privat sebagai pihak penggugat dan pihak tergugat adalah pejabat atau lembaga pemerintah negara. Sedangkan objek dari sengketa Tata Usaha Negara yaitu permasalahan dari keputusan administrasi pemerintah berdasarkan Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 2014 (Siregar, 2020). 

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 2 menyebutkan:

  1. Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan sebelum adanya proses pidana;
  2. Pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan sebagaimana pada Ayat (1) setelah adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah.

Sehingga untuk melakukan pengujian unsur penyalahgunaan wewenang harus dilakukan pada Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo Pasal 1 Angka 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015, sehingga jelas dan terang bahwasanya domain untuk menguji penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat adalah Peradilan Tata Usaha Negara (Yasser, 2019).

Berikut ini contoh sengketa pendaftaran tanah yang kemudian menjadi gugatan sengketa ke PTUN. Permohonan pendaftaran tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), bagian dari sebuah badan atau pejabat tata usaha negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca Juga: Desak Presiden Jokowi Tunaikan Pembentukan Provinsi Kapuas Raya

Keputusan BPN sebagai badan dan pejabat negara yang merupakan keputusan tata usaha negara yang berisi penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dan juga berisi suatu tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Siregar, 2020).

Kesimpulan

PTUN tidak hanya sebatas berbicara mengenai asas-asas hukum administrasi negara dan asas-asas peradilan, tapi yang lebih menonjol adalah kepentingan politik penguasa antara DPR dan pemerintah. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) secara formal dikenalkan oleh UU Nomor 19 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan.

Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yang termasuk ke dalam yudikatif yaitu lembaga peradilan yang mengadili pelanggaran terhadap undang-undang. Lembaga-lembaga yang termasuk kedalam lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstiusi, dan Komisi Yudisial.

Di bawah Mahkamah Agung terdapat badan peradilan lagi yaitu Badan Peradilan Umum (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri), Badan Peradilan Agama (Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama), Badan Peradilan Militer (Pengadilan Militer Utama, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer), dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara).

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berkedudukan sama rata dengan badan peradilan lainnya di bawah pengawasan Mahkamah Agung sebagai salah satu bagian dari lembaga yudikatif yang bertugas mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak masyarakat yang dirugikan atas berlakunya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 47 ditegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (PTUN).

Baca Juga: Pemuda & Pemilu 2024: The Winner or Losser

Adapun obyek sengketa yang masuk dalam kewenangan PTUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berupa KTUN. Kemudian pasca berlakunya UU Nomor 30 Tahun 2014, kewenangan PTUN mengalami perluasan yakni dapat menilai, ada atau tidak unsur-unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 Ayat (1) UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dikatakan bahwa pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan.

Subjek dari sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah perseorangan atau individual dan badan privat yang memiliki permasalahan terhadap pejabat pemerintahan, di mana individual dan badan privat ini merupakan penggugat dan pihak pemerintahan merupakan pihak tergugat.

Penulis: Diantika Chayani
Mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Pontianak

Dosen: Arif Wibowo
Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Pontianak

Daftar Pustaka

Akbar, M. K. (2020). Peran Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik. Dharmasisya, 1(1), 352-363.

Dani, U. (2018). Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia : Sistem Unity Of Jurisdiction atau Duality Of Jurisdiction? Sebuah Studi Tentang Struktur dan Karakteristiknya. Jurnal Hukum dan Peradilan, 7(3), 405-424.

Gaffar, J. M. (2009). Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Surakarta: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA.

Putrijanti, A. (2015). Kewenangan Serta Obyek Sengketa di Peradilan Tata Usah Negara Setelah Ada UU No. 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum, 44(4), 425-430.

Siregar, K. M. (2020). Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jurnal Ilmu-ilmu Kesyariahan dan Keperdataan, 6(1), 88-100.

Sunarto. (2022, Desember 10). Fungsi, Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Retrieved from digital library ump: http://digitallibrary.ump.ac.id/

Yasser, B. M. (2019). Pengujian Unsur Penyalahgunaan wewenag Pada Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi. Soumatera Law Review, 2(1), 1-24.

Yulistyowati, E., Pujiastuti, E., & Mulyani, T. (2016). Penerapan Konsep Triaspolitica dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 18(2), 328-338.


[1] UUD NRI 1945

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *