PONTIANAK, APAKALBAR.COM – Di tahun 2023 ini, tema kampanye global yang diangkat dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional adalah #EmbraceEquity atau merangkul kesetaraan.
Tujuan dari tema kampanye IWD 2023 #EmbraceEquity adalah agar dunia berbicara tentang Mengapa peluang yang sama tidak cukup. Orang-orang mulai dari tempat yang berbeda, jadi inklusi dan rasa memiliki yang sejati membutuhkan tindakan yang adil.
Masyarakat seringkali gagal untuk mengakui bahwa ketidaksetaraan gender, atau perbedaan status dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, terus ada sampai sekarang. Perempuan tetap kurang terwakili secara signifikan dalam profesi eksekutif di tingkat yang lebih tinggi dalam angkatan kerja, seperti perusahaan besar dan institusi pemerintah
Selain itu, Institute for Women’s Policy Research mengemukakan rata-rata pendapatan perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki dan Sebagian masyarakat mengaitkan hal tersebut dengan faktor tingkat individu, seperti perbedaan antara apa yang diinginkan dan mampu dikontribusikan oleh karyawan pria atau wanita pada institusi.
Namun, penelitian terbaru oleh Urie Bronfenbrenner Ahli psikologi dari Amerika menunjukkan bahwa faktor tingkat ekologis, seperti penindasan sistematis yang menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan, dapat memberikan pemahaman yang lebih berharga tentang ketidaksetaraan seperti yang ada saat ini.
Penindasan sistematis tersebut adalah salah satu bentuk seksisme jahat yang tercipta berdasarkan konstruksi sosial yang diartikan sebagai setiap antagonisme perempuan yang menentang kekuasaan laki-laki. Seorang perempuan yang bersaing dengan laki-laki untuk mendapatkan posisi tinggi di salah satu institusi ini mungkin menghadapi seksisme yang tidak bersahabat karena dia dipandang sebagai ancaman terhadap status quo otoritas laki-laki.
Namun perempuan juga dihadapikan dengan seksisme baik, di mana perempuan distereotipkan sebagai penyayang, halus dan sensitif. mereka yang meyakini seksis itu mengkonseptualisasikan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan harus dilindungi.
Ada juga manifestasi seksisme yang lebih halus, namun sama-sama merusak. Karena mereka yang menerima ide-ide seksis biasanya menganggap perempuan tidak kompeten di luar peran rumah tangga, laki-laki akan melihat diri mereka lebih tinggi dari perempuan dan akan memperlakukan mereka dengan sikap menggurui. Perempuan tidak menafsirkan perilaku merendahkan tersebut sebagai tindakan seksisme, tetapi sebagai tindakan protektif dan peduli Laki-laki gagal mengenali tindakan seksis mereka yang baik hati sebagai penindas, dan seringkali terpaku pada pemenuhan peran gender tradisional mereka sebagai penyedia dalam hubungan romantis mereka. Wanita yang memegang keyakinan seksisme baik tidak memiliki tujuan pendidikan dan karir yang ambisius dan merasa lebih bergantung pada suami masa depan mereka untuk dukungan keuangan. Kalau kata KH. Husein Muhammad salah satu tokoh yang aktif dalam isu kesetaraan, “Perempuan harus sehat secara reproduksi, pintar secara intelektual, dan mandiri dalam berpikir dan finansial. Jangan bergantung nasibnya kepada laki-laki/suami. Orang yang tergantung itu bagai orang yang tidak merdeka. Saat orang yang tempatnya bergantung tidak ada, dia akan kehilangan segalanya. Ketergantungan akan mengakibatkan keterbelakangan.”
Kita semua dapat menantang stereotip gender, menyerukan seksisme dan diskriminasi, serta mencari inklusi. Aktivisme kolektif inilah yang mendorong perubahan. Dari aksi akar rumput hingga momentum berskala luas, kita semua dapat merangkul kesetaraan.
Menempa kesetaraan gender tidak terbatas pada perempuan semata-mata memperjuangkan perjuangan yang baik. Kolaborasi sangat penting untuk kemajuan sosial, ekonomi, budaya, dan perempuan.
Penulis : Dewi Valentine (Kader HMI Kalimantan Barat)