Penentuan larangan ekspor “Crude Palm Oil (CPO)” mulai diberlakukan pada hari ini, 28 April 2022. Larangan Ekspor ini menimbulkan drama perdebatan dalam seminggu terakhir, karena beberapa perubahan rencana kebijakan. Larangan Ekspor CPO ini diambil oleh Presiden Jokowi seusai menggelar rapat terbatas bersama sejumlah menteri membahas soal ketersediaan minyak goreng pada hari Jumat, 22 April 2022.
Kemudian pada tanggal 25 April 2022, Kementerian Pertanian, melalui Surat Nomor 165/KB.020/E/2022 perihal harga TBS Pasca Pengumuman Presiden tentang Pelarangan Ekspor RBD Palm Olein. Pada surat yang ditandatangani oleh Pelaksana Tugas Dirjen Perkebunan Kementan Ali Hamil menyampaikan, “Yang dilarang ekspor bukanlah CPO, tetapi refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang merupakan bahan baku minyak goreng sawit dan minyak goreng sawit (MGS).”
Pada tanggal 26 April 2022, kebijakan ini ditekankan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa CPO bukanlah termasuk komoditas yang dilarang ekspor.
Keputusan final tentang pelarangan ekspor ini disampaikan pada konferensi pers oleh Pak Airlangga Hartarto pada tanggal 27 April 2022 malam hari. Kebijakan ini meliputi larangan ekspor, termasuk untuk CPO, mulai berlaku efektif tanggal 28 April 2022 jam 00.00 WIB.
Tujuan kebijakan pelarangan ekspor CPO ini sebenarnya bagus, yaitu menjaga stabilitas harga minyak goreng. Karena di Indonesia terjadi sebuah paradoks, dimana sebagai salah satu penghasil kelapa sawit terbesar sedunia, dengan luas lahan lebih dari 15 juta ha lahan, tetapi harga minyak goreng dalam negeri mengalami kenaikan yang relatif tidak terkendali. Pada saat wacana pelarangan ekspor oleh Presiden pada tanggal 22 April 2022, harga minyak goreng mencapai rata-rata Rp 24.960,- per kg, dengan harga tertinggi di Provinsi Maluku Utara yang mencapai Rp 41.000,- per kg.
Seiring waktu dengan wacana awal Presiden ini, kemudian pada tanggal 27 April 2022 harga di pasaran cenderung turun. Menurut pantauan lapangan, harga di minimarket sudah turun menjadi Rp 20.000,- per kg.
Tetapi, kebijakan pelarangan ekspor ini perlu kita lihat secara kritis atas 3 (tiga) sudut pandang. Pertama, dari sisi petani kelapa sawit. Karena yang pertama terhantam secara langsung dengan kebijakan larangan ekspor CPO ini adalah para petani. Ketika polemik terjadi, harga Tandan Buah Segar (TBS) anjlok bisa sampai 60%, bahkan ada beberapa Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang kemudian menurunkan harga Rp 300,- sampai Rp 1.400,- per kg. Menjadi pilihan sulit bagi para petani kelapa sawit, karena kalau panennya tidak terserap oleh PKS, justru akan menjadi problem baru. Walaupun Kementan mengeluarkan surat edaran untuk melindungi harga di level petani, tetapi dalam kondisi kebijakan yang berubah-ubah ini, dunia usaha akan sulit membuat keseimbangan harga yang ideal.
Sudut pandang kedua adalah sektor dunia usaha. Saham-saham perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit mengalami depresiasi. Beberapa contoh data, saham PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) turun 4,27% menjadi Rp 1.350 per lembar saham pada hari ini. PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) juga turun 1,2%, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) turun 3,5%, Saham PT Provident Agro Tbk (PALM) milik Saratoga Sentra Business juga turun 2,22% menjadi Rp 880,- per lembar saham. Kemudian PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) turun 3,14% menjadi Rp 2.160,- per lembar saham.
Penurunan harga-harga saham di bursa ini karena sentimen negatif atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini, karena perusahaan emiten sawit mengalami penurunan kinerja.
Hal ketiga yang perlu menjadi perhatian adalah neraca keuangan negara. Pertumbuhan ekonomi dihasilkan dengan terdongkraknya Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu penyumbang kenaikan PDB ini adalah dari sektor ekspor non migas, terutama CPO. Surplus perdagangan pada bulan Maret 2022 yang mencatat kisaran US$ 4,5 Miliar, akan tergerus ketika kebijakan ini terus berjalan. Ketika ekspor mengalami tekanan, neraca keuangan negara akan mengalami potential loss lebih banyak.
Selanjutnya, bagaimana idealnya? Pemerintah seharusnya fokus dengan pembuatan kebijakan yang tetap melindungi pasar dalam negeri, tetapi tetap memberikan kepastian hukum dalam transaksi bisnis yang terjadi secara internasional. Pemerintah bisa meningkatkan dan memperketat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), misalnya. DMO bisa dinaikkan dari 20% menjadi 30%, disertai dengan pengawasan kebijakan dengan lebih ketat.
DMO adalah kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk menyerahkan sebagian produksinya kepada negara melalui Badan Pelaksana dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan besaran yang sudah diatur dalam kontrak kerjasama. Ketika pemerintah bisa konsisten dengan regulasi ini, semua pihak bisa terlindungi dengan baik. Harga minyak di pasaran bisa sesuai harapan pemerintah, di bawah Rp 14.000,- per kg minyak curah, tapi satu sisi petani sawit terlindungi, dunia usaha bisa menaikkan performa perusahaan, dan neraca keuangan negara terdongkrak positif.
Penulis: Ajib Hamdani (Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia)
Editor: Ika Ayuni Lestari