Rekonstruksi Budaya Akademik Menuju Pendidikan Ideal di Indonesia

Penulis: M. Ruslan Al Ulum (Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pontianak)

PONTIANAK, APAKALBAR.COM – Orang tua sudah mulai cemas-cemas harap menjelang tahun ajaran baru. Orang tua mulai melirik lembaga pendidikan untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sebuah lembaga pendidikan dan selanjutkan memasrahkan mereka untuk dididikan guna mengejar masa depannya.

Tahun ajaran baru juga menjadikan lembaga pendidikan bersaing tampil menarik untuk mencari perhatian para orang tua. Pamflet dibikin semenarik mungkin dengan background gedung atau tokoh disertai pogram dan prestasi yang pernah diraih siswa-siswinya.

Bacaan Lainnya

Fenomena seperti ini sebenarnya wajar-wajar saja dilakukan oleh sebuah lembaga selain untuk menarik perhatian juga untuk menginformasikan keunggulan sebuah lembaga.

Kecemasan orang tua cukup beralasan mengingat realita pendidikan yang belum maksimal membudayakan budaya akademik yang ideal. Masih banyak ditemukan lembaga pendidikan yang keberadaannya masih setengah hati melayani pendidikan.

Kebaradaan lembaga setengah hati dalam memberikan pelayanan pendidikan tidak lepas dari budaya akademik yang kurang ditonjolkan. Budaya akademik yang kurang menonjol dilatarbelakangi oleh banyak faktor, mulai sumber pendanaan sampai sampai sumder daya manusianya sendiri.

Kondisi semacam ini terteropong oleh IAIN Pontianak melalui kegiatan Stadium General bertemakan “Longing for Ideal Learning Model in Indonesia Islamic Education” yang dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 26 Mei 2023 bertempat di Gedung Abdul Ghani.

Prof. Abdurrahman Mas’ud selaku pemateri memberikan gambaran pendidikan di Indonesia secara umum belum menunjukkan budaya akademik yang ideal mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tingginya, terutama lembaga yang berafiliasi dengan Islam.

Padahal dalam Al-Qur’an sendiri sangat jelas bahwa surah dan ayat pertama yang turun berkenaan dengan budaya akademik. Kurangnya memahami dan mengamalkan surah Al-‘Alaq berakibat pada munculnya pendidikan setengah hati dalam memberikan pelayanan pendidikan.

Prof. Mas’ud, panggilan akrabnya, menyatakan bahwa pengaruh pena dan baca sangat besar dampaknya. Jika mau menoleh kebelakang sejarah peradaban Islam, Islam bisa maju dan berkembang pesat tidak lepas dari budaya akademik yang sangat menonjol.

Di mana budaya ini sudah mulai ditinggal dan terasing dari umat Islam, walaupun ditemukan upaya-upaya untuk membangkitkankan kembali. Budaya akademik baca tulis hijrah dari dunia timur ke barat yang diwakili olah Eropa dan Amerika.

Negara-negara dengan pendidikan yang maju budaya akademiknya sangat terasa di lembaga pendidikannya. Menulis dan membaca menjadi rutinitas harian masyarakat di sela-sela waktu istirahat.

Budaya baca dan tulis tidak hanya berada di lembaga pendidikan dan orang yang berada di dalamnya. Mustahil dapat membangun lembaga pendidikan yang unggul tanpa membudaya membaca dan menulis.

Problem yang ada di negara Indonesia menurut beliau secara garis besarnya ada di dua sektor penting dalam pendidikan; guru dan siswa. Problem yang berada di guru, pertama, tidak sedikit guru atau dosen menjadikan aktivitas mengajar hanya sebagai rutinitas harian. Mengajar dijadikan sebagai sumber penghasilan untuk menutupi kebutuhan hidup tanda ada upaya lebih jauh untuk mengembangkan dan membuat terobosan baru. Kedua, guru atau dosen masih sangat nyaman berada diposisi menjadi sumber utama dalam ilmu pengetahuan peserta didik. Kedua budaya ini perlu diganti untuk mengatasi masalah penghambat membangun pendidikan ideal.

Problem kedua ada pada peserta didik sendiri dalam memainkan perannya. Ada empat masalah yang menjadi semacam penyakit kronis dialami peserta didik mewujudkan pendidikan yang ideal. Pertama, pelajar maupun mahasiswa biasa dimanja dan perlakuan manja oleh guru atau dosen. Perlakuan manja menyebabkan pelajar atau mahasiswa kurang mandiri menggali informasi ilmu pengetahuan. Kedua, tidak mandiri dalam mengembangkan kemampuan akademiknya. Ketiga, kurangnya minat baca dan menulis hasil bacaan. Kondisi semacam ini umumnya dialami tidak hanya kalangan pelajar tingkat menengah bawah tapi mahasiswa juga mengalami kesulitan ketika membuat tulisan. Keempat, akibat kurangnya minat baca menyebabkan kran kritis dikalangan pelajar terutama mahasiswa tersumbat.

Prof. Mas’ud menawarkan solusi untuk mengatasi problem penghambat terbangunnya pendidikan ideal. Pendidikan yang benar-benar melayani sepenuh hati dalam membantu mengarahkan dan mengambangkan peserta didik dikalangan mahasiswa maupun pelajar. Ada dua solusi yang harus dilakukan secara bersamaan tidak boleh tinggalkan salah satunya. Karena keduanya seperti dua kaki yang bisa mengerakkan anggota lainnya bisa maju atau mundur. Pertama, ada kemuan untuk meningkatkan kemampuan dari masing-masing insan akademik; pendidik atau peserta didik, dosen maupun mahasiswa. Lembaga perlu membuat regulasi yang dapat menggerakkan baik secara sukar rela atau memaksa untuk mengambangkan budaya akademik ideal melalui membaca dan menulis. Kedua, tingkatkan pelayanan perpustakaan sebagai tempat pertama dan utama dalam meningkatkan budaya akademik. Sangat ironis sekali lembaga pendidikan apabila tidak memiliki perpustakaan yang memamadai. Karena tidak ada ceritanya lembaga pendidikan maju dan unggul tanpa adanya ruang baca yang memadai.

Penulis: M. Ruslan Al Ulum (Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pontianak)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *