Dengan telah ditetapkannya oleh para Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021 silam mengenai kriteria hilal yang baru melalui ad referendum mengenai standar ketinggian hilal untuk penetapan awal bulan dalam sistem penanggalan hijriah, maka tentu akan menjadikan peodoman yang baru pula bagi para peneliti dan pemburu hilal dalam penentuan awal bulan, terutama waktu-waktu sangat krusial seperti saat ini terkait dengan pelaksanaan ibadah seperti Puasa di Bulan Ramadhan dan Lebaran di Bulan Syawal.
Adapun ketinggian hilal yang menjadi kriteria yang baru tersebut yakni dgn ketinggian 3 derajat dan jarak sudut lengkung antara matahari dan hilal (elongasi) 6,4 derajat merupakan hasil perubahan atas kriteria hilal yang lama dengan ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat dan, atau umur bulan 8 jam dihitung sejak terjadinya ijtimak / konjungsi. Dasar dan pertimbangan atas perubahan tersebut tentunya dari hasil penelitian dan kajian yang sangat mendalam dari negara-negara MABIMS tersebut, dimana kriteria yang lama tidak dapat lagi dijadikan prasyarat dalam penetapan awal bulan. Dengan kata lain, bahwa kriteria yang lama tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan yang telah disyaratkan dalam upaya melakukan penentuan/penetapan awal bulan baik dilihat dari aspek fikih (syari’at) maupun aspek scientifik (astronomi).
Penyempurnaan atas kriteria hilal yang baru ini tentunya merupakan bagian dari perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam ilmu hisab-rukyat (ilmu falak) sebagai respon terhadap perkembangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana saat ini sistem perhitungan (hisab) semakin canggih dan koreksi-koreksi yang dilakukan juga sudah pada tingkat akurasi yang sangat tinggi. Sebagai contoh, misalnya saat ini untuk mengetahui berapa ketinggian hilal saat matahari terbenam bahkan bukan hanya satuan derajat saja, namun sudah pada satuan detik bahkan lebih detail lagi dari seper sekian detik.
Baca Juga : Melihat (Rukyat) Lebih Dekat Kriteria Hilal yang Baru
Dalam sejarah dan perjalannya pun sistem penaggalan (kalender) hijriah juga telah mengalami beberapa perkembangan, mulai dari sistem hisab urfi, hisab taqribi, hisab hakiki hingga sistem hisab kontemporer (modern) seperti yang telah digunakan saat ini. Dalam system hisab urfi sesuai dengan istilahnya urf artinya kebiasaan/tradisi, dimana dalam sistem ini tanpa perlu dilakukan rukyatul hilal dalam penentuan awal bulannya. Sistem hisab semacam ini seperti halnya yang terdapat kalender masehi namun dalam sistem hisab urfi ini jumlah hari dalam satu bulannya berjumlah antara 29 dan 30 hari sesuai dengan periodesasi lamanya bulan mengelilingi (periode sinodis) bumi yakni 29,530589 hari.
Sistem hisab urfi ini juga telah digunakan oleh bangsa arab pra Islam, dan nama-nama bulannya juga didasarkan dengan kebiasaan (urf) yang mereka lakukan seperti muharram artinya bulan yang disucikan atau dinamakan muharram karena orang Arab pada masa itu mengharamkan untuk berperang pada bulan yang disucikan ini, kemudian Safar, karena perkampungan Arab Shifr (kosong) dari penduduk, karena mereka keluar untuk perang, berdagang dll. Ada juga yang mengartikan Safar artinya kuning, dimana tumbuhan mulai menguning memasuki musim gugur, Rabiul Awal ; musim gugur yang pertama, Jumadil Awal ; Musim dingin yang pertama, begitu seterusnya hingga bulan Dzulhijjah atau bulan haji, dimana ibadah haji merupakan syariat yang perintahkan kepada umat-umat terdahulu.
Meski hisab urfi ini merupakan system hisab yang telah lama digunakan oleh bangsa Arab dalam mejalani aktifitas kehidupan sehari-hari, namun ada hal yang menarik sekali ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada para sahabat agar memastikan bahwa bulan telah terlihat dalam penentuan ibadah puasa atau mengakhirinya (lebaran-pen) hal ini seperti terdapat dalam sebuah hadis yang di yang sangat terkenal yaitu “Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa – lebaran) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari,” (HR Bukhari dan Muslim).
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan system hisab urfi tidak dapat dijadikan pedoman dalam penentuan waktu pelaksanaan ibadah seperti puasa, lebaran atau ibadah lainnya seperti haji, adalah dikarenakan system hisab urfi ini tidak menjadikan hilal sebagai pedoman dalam penentuan awal bulan. Dalam QS. Al-Baqarah 189 juga disebutkan bahwa Hilal atau bulan sabit muda itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dalam menentukan ibadah haji. Oleh karena itulah system hisab yang didasari pada peredaran bulan ini terus mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini (system hisab modern – kontemporer).
Karena hilal merupakan pedoman yang dijadikan sebagai dasar dalam penentuan awal bulan, maka kemudian yang menjadi fokus pembahasan terhadap penentuan awal bulan ini terletak pada posisi dan kedudukan hilal pada saat mata hari terbenam. Waktu magrib atau terbenamnya mata hari merupakan batas pergantian hari dalam system penanggalan Islam, hal ini berbeda dengan penanggalan masehi yang menjadikan tengah malam sebagai batas pergantian hari. Oleh sebab itulah para ilmuan (scientsist/astronom/ahli falak) menyusun konsep tentang kriteria hilal yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan sesuai dengan hadis dan ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an tersebut. Ini artinya penentuan awal bulan dalam system penanggalan Islam berangkat dari teks suci keagamaan (Al-Qur’an dan Hadis) yang dijadikan sebagai dasar hukum, kemudian diimplementasikan (amalkan) dan dikembangakan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (konteks).
Saat ini terdapat beberapa kriteria hilal (visibilitas hilal) atau ketinggian minimum hilal/cresent yang dapat diamati seperti Fotheringham, Maunder, Danjon, Bruin, McNally, Schaefer, Ilyas, Yallop, Fatoohi, Caldwell, dan Odeh. Namun khusus untuk wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, ada kriteria yang telah disepakati oleh para Agama negara-negara tersebut yang dikenal dengan kriteria MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) seperti yang telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini.
Baca Juga : Muhammadiyah Tetapkan Hari Raya Idul Fitri 1443 H Jatuh pada Senin 2 Mei 2022!
Berdasarkarkan hasil perhitungan (hisab) hilal bulan syawal 1443 H, maka diperoleh data bahwa ketinggian hilal di Indoneia berada pada ketinggian antara 4 sampai dengan 5 derajat dan sudut elongasi antara 4,89 sampai dengan 6.4 derajat. Hal ini tentunya sudah memenuhi syarat minimal yang dijadikan ketentuan dalam penetapan awal bulan syawal 1443 H. Mengingat ijtimak/konjungsi bulan juga telah terjadi pada hari minggu tanggal 01 Mei 2022 pada pukul 03:28:03, maka dapat di pastikan 1 syawal 1443 H bertepatan dengan hari senin pada tanggal 02 Mei 2022.
Penulis : Suhardiman (Akademisi IAIN Pontianak)
Editor : Darsono