Kebebasan Mengekspresikan Ajaran Agama

Penulis: M. Ruslan Al Ulum (Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pontianak)

PONTIANAK, APAKALBAR.COM – Dalam upaya menjaga ketentraman masyarakat melaksanakan ajaran agama, negara mengatur dalam UUD 45 Pasal 29 Ayat 2 ditegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Para founding father Indonesia menyadari kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari pluralis agama dan multikultural. Keadaan seperti ini bila tidak ditangani dan diatur sedini mungkin bisa mengakibatkan terpecahnya kebhinnekaan bangsa. Terutama menyangkut masalah agama yang bisa membuat manusia mudah sensitif.

Bacaan Lainnya

Manusia dalam bersikap ataupun bertindak tidak terlepas dari pengaruh agama. Pengaruh agama terlihat dari cara orang berpikir, bersikap, dan bersosialisasi. Semuanya sangat kental dari pengaruh agama. Ahli antropolog mengatakan kalau agama merupakan sebuah sistem budaya bagi masyarakat.

Ini terlihat dari peradaban yang dibangun dan dicapai manusia dalam organisasi masyarakat. Agama menjadi mobilisasi transformasi masyarakat dari zaman purba hingga hari ini. Tidak sedikit konflik terjadi mengatasnamakan agama. Baik konflik internl maupun eksternal. Karena agama selain mengajak manusia untuk berprilaku  baik sesuai fitrahnya juga berpeluang menyulut api konflik.

Di Indonesia misalnya, banyak konflik yang terjadi karena persoalan agama. Dalam kasus pendirian rumah ibadah baik yang berkaitan dengan masalah perizinan maupun penolakan dari masyarakat setempat karena merasa terganggu dan kerusuhan yang pernah terjadi di Ambon dan Maluku. Dan masih banyak lagi konflik yang terjadi di belahan dunia belakangan ini.

Tayangan televisi masih menayangkan berbagai konflik terjadi mengatasnamakan agama atau istilah lainnya kejadian konflik ditarik ke ranah agama.

Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau, bila tidak ditangani dengan cepat, tepat, tanggap, dan tegas berpotensi memecah kemajemukan bangsa Indonesia. Banyak kasus terjadi di tengah masyarakat membawa nama agama. Sehingga agama menjadi legalitas berbuat keresahan dan kerusakan.

Secara umum penganut agama mengetahui bahwa tidak ada satu agama atau ajaran agama manapun yang mengajarkan berbuat kerusakan. Semua agama menganjurkan umatnya untuk selalu mengedapan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Al-Qur’an ditegaskan apabila orang Islam dalam perjalanan bertemu dengan orang yang memakinya maka dia harus membalas dengan perkataan yang terpuji (Al-Furqan: 63).

Agama tidak menganjurkan para pemeluknya untuk menghina, mengusik, dan mengganggu tata cara ibadah dan tempat ibadah umat lain yang tidak satu keyakinan. Bagi umat Islam sendiri sudah diterangkan dalam kitab suci Al-Qur’an larangan untuk mangganggu, menghina, dan mencaci maki tata cara ibadah, objek yang disembah maupun tempat ibadah umat lain (Al-An’am: 108). Nabi mengingatkan untuk memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlukan.

Untuk mencegah terjadinya ketegangan antar umat agama. Instansi yang menangani permasalahan agama seperti Kementerian Agama berkerja sama dengan Kemeterian Dalam Negeri dalam upaya meningkatkan kerukunan antar umat beragama, mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 merupakan kesepakatan majlis-majlis agama tingkat pusat yang terdiri dari Majlis Ulama’ Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha  Indonesia (WALUBI) bersama wakil kementerian agama RI dan kementerian dalam negeri RI. PBM  tersebut berisikan tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah.

Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan setiap umat bergama dapat mematuhi untuk tidak terjadi gesekan dan ketegangan yang sudah terjadi bisa capat cair. Sehingga umat beragama bisa menjalankan ibadah dengan tenang, khusu’, aman dan damai. Sementara yang berkaitan dangan tempat ibadah paraturan PBM bisa dijadikan pedoman untuk tidak menimbulkan konflik antar masyarakat setempat. Seperti di maluku dangan permasalahan pendirian rumah ibadah, Bogor dengan kasus yang sama, Cilegon  yang menolak berdirinya rumah ibadah non muslim, dan daerah-daerah lainya yang memiliki kasus seputar permasalahan rumah ibadah.  Pada masa orde baru, pada tahun tujuh puluhan sudah menetapkan “Trilogi” untuk menjaga kerukunan umat beragama. Isi dari Trilogi itu mengajak umat beragama untuk bisa hidup rukun baik satu agama maupun berbeda agama. Trilogi yang dikeluarkan oleh pemerintah masa itu adalah 1) kerukunan inter umat agama, 2) kerukunan antar umat beragama dan 3) kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah melihat pontensi konflik dimasyarakat dan perlunya mengeluarkan peraturan trilogi tersebut. walau masih diakui Trilogi tersebut kurang diserap oleh masyarakat namun setidaknya bisa menekan masyarakat beragama untuk dapat hidup berdampingan, bertetangga dan berkerja sama. Walau antar tetangga masih menaruh curiga terhadap tetangganya. Menurut Gus Dur ini lahir karena kurangannya saling pengertian antar sesama.

Penulis: M. Ruslan Al Ulum (Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pontianak)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *