Setiap tahun, Ramadan datang membawa keberkahan bagi umat Islam. Bulan suci ini bukan sekadar momen meningkatkan ibadah, tetapi juga saat di mana nilai-nilai sosial dan ekonomi seharusnya bertransformasi ke arah yang lebih adil. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: Ramadan kini lebih identik dengan konsumsi berlebihan, kenaikan harga barang, dan eksploitasi ekonomi oleh kelompok tertentu.
Pasar menjadi ajang perburuan keuntungan dengan dalih meningkatnya permintaan. Harga bahan pokok melonjak, promosi besar-besaran menggoda masyarakat untuk berbelanja lebih banyak, dan industri ritel memanfaatkan euforia Ramadan untuk meraup laba maksimal. Apakah ini wajar dalam perspektif Islam? Ataukah ini justru menunjukkan wajah kapitalisme yang semakin jauh dari nilai-nilai keadilan ekonomi Islam?
1. Ramadan: Antara Momentum Spiritual dan Konsumerisme Berlebihan
Secara esensial, Ramadan adalah bulan yang mengajarkan kesederhanaan, berbagi, dan pengendalian diri. Namun, realitas menunjukkan hal yang bertolak belakang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran rumah tangga masyarakat Indonesia selama Ramadan meningkat sekitar 20–30% dibanding bulan biasa. Fenomena ini juga terjadi di berbagai negara mayoritas Muslim lainnya.
Alih-alih menahan diri, masyarakat justru lebih boros dalam belanja makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya. Supermarket dan pusat perbelanjaan berlomba menawarkan diskon, promosi, dan paket Ramadan yang secara psikologis mendorong masyarakat untuk mengonsumsi lebih banyak.
Ironisnya, dalam waktu yang sama, harga bahan pokok juga naik signifikan. Inflasi pangan selama Ramadan selalu tinggi, yang menandakan bahwa peningkatan konsumsi juga dimanfaatkan oleh para spekulan pasar untuk mencari keuntungan besar.
Dalam Islam, fenomena seperti ini seharusnya dihindari. Rasulullah SAW bersabda:
“Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus lebih, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Konsep kesederhanaan ini justru hilang dalam praktik ekonomi Ramadan saat ini. Pertanyaannya, siapa yang paling diuntungkan dalam fenomena ini?
2. Kapitalisasi Ramadan: Strategi Pasar yang Mengeksploitasi Konsumen
Setiap tahun, fenomena kenaikan harga bahan pokok selama Ramadan menjadi masalah klasik. Di sisi ekonomi konvensional, ini sering dianggap sebagai konsekuensi dari hukum permintaan dan penawaran: ketika permintaan meningkat, harga otomatis naik. Namun, dalam ekonomi Islam, mekanisme pasar tidak boleh berjalan tanpa regulasi moral.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan keadilan dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman: 9)
Prinsip dasar ekonomi Islam menuntut adanya keadilan dalam transaksi. Sayangnya, spekulan dan pedagang besar sering kali memanfaatkan momen ini untuk menimbun barang dan menaikkan harga secara tidak wajar. Rasulullah SAW dengan tegas melarang praktik ini dalam hadisnya:
“Tidaklah seseorang menimbun makanan kecuali dia adalah orang yang berdosa.” (HR. Muslim)
Pemerintah, dalam hal ini, memiliki kewajiban intervensi untuk memastikan harga tetap stabil dan tidak dikuasai oleh segelintir kelompok. Sayangnya, regulasi harga selama Ramadan sering kali masih lemah dan belum mampu mengatasi permainan pasar yang merugikan masyarakat kecil.
- Konsumerisme Ramadan: Pola Hidup yang Tidak Sesuai dengan Syariah
Salah satu strategi pasar yang paling agresif selama Ramadan adalah gimmick marketing yang mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak. Iklan makanan dan minuman mendominasi layar televisi dan media sosial, seolah-olah Ramadan adalah festival kuliner.
Diskon besar-besaran untuk pakaian dan barang mewah membuat masyarakat tergoda untuk belanja berlebihan. Sistem pembayaran berbasis kredit (termasuk Paylater) semakin memudahkan masyarakat berhutang demi memenuhi gaya hidup konsumtif.
Padahal, Islam mengajarkan bahwa Ramadan adalah momentum untuk mengurangi ketergantungan terhadap dunia material. Konsumerisme yang berlebihan bertentangan dengan esensi Ramadan itu sendiri.
Rasulullah SAW bersabda:
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian.” (HR. Bukhari)
3. Solusi Ekonomi Islam: Membangun Keberkahan Ramadan yang Berkeadilan
Agar Ramadan kembali pada nilai-nilai yang seharusnya, perlu ada solusi konkret yang berbasis pada prinsip ekonomi Islam.
A. Intervensi Negara untuk Menjaga Stabilitas Harga
Negara memiliki kewajiban untuk mengontrol distribusi barang pokok agar tidak dikuasai oleh kartel. Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum pedagang yang menaikkan harga dengan alasan tidak masuk akal. Pemerintah harus meniru langkah ini dengan:
- Membuka pasar murah dan operasi pasar untuk mengendalikan harga bahan pokok.
- Menindak spekulan dan kartel pangan yang melakukan penimbunan barang.
- Mendorong koperasi syariah agar distribusi barang lebih merata.
B. Kampanye Kesadaran Konsumsi
Masyarakat harus mulai diedukasi tentang pentingnya pola konsumsi yang sesuai dengan ajaran Islam. Konsep belanja berkah harus dikampanyekan agar umat tidak terjebak dalam jebakan marketing kapitalis.
C. Mengoptimalkan Zakat, Infak, dan Wakaf sebagai Solusi Ekonomi Umat
Keuntungan besar yang diperoleh sektor perdagangan selama Ramadan seharusnya tidak hanya berputar di tangan pemilik modal. Islam mengajarkan agar kekayaan harus berputar dan tidak menumpuk di segelintir orang.
Allah SWT berfirman: “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Zakat, infak, dan wakaf harus lebih diberdayakan untuk membantu masyarakat miskin menghadapi lonjakan harga.
Kapitalisasi ekonomi Ramadan adalah fakta yang tidak bisa diabaikan. Alih-alih menjadi bulan penuh keberkahan, Ramadan kini lebih identik dengan peningkatan konsumsi dan eksploitasi pasar. Islam tidak menolak perdagangan dan keuntungan, tetapi menuntut keseimbangan, keadilan, dan keberkahan.
Pemerintah harus lebih tegas dalam mengontrol harga, masyarakat harus lebih bijak dalam konsumsi, dan sektor bisnis harus kembali pada prinsip perdagangan yang beretika. Jika tidak, Ramadan akan terus menjadi “bulan panen” bagi kapitalis, sementara umat tetap menjadi objek eksploitasi ekonomi.
Saatnya kita mengembalikan Ramadan ke hakikatnya—bulan keberkahan, bukan ajang eksploitasi!
Penulis: Muhamamd Holil
(Tenaga Kependidikan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Pontianak / Sekretsris Umum DPP Himpunan Pengusaha dan Pendamping Usaha Nusantara)