Webinar Konstruksi Identitas Dakwah dalam Drama Film Bidaah: Pendekatan Fenomenologi dan Kritik Konten

Webinar Konstruksi Identitas Dakwah dalam Drama Film Bidaah
Sumber Dokumen Pribadi Penulis.

Jakarta, APAKALBAR.COM – Sebuah webinar bertajuk Konstruksi Identitas Dakwah dalam Drama Film Bidaah: Pendekatan Fenomenologi dan Kritik Konten telah sukses diselenggarakan oleh BAKORNAS LDMI PB HMI dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai elemen pemuda dan organisasi keislaman yang turut menyemarakkan yaitu: PP Pandawa NW Lombok, Ikatan Santri Sulawesi Barat (Iksan Sulbar), FATA INSTITUTE, Pemuda Al Irsyad DKI Jakarta yang telah dilaksanakan pada tanggal 14 April 2025.

Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber ahli di bidang studi Islam, kajian media, serta diikuti oleh peserta dari berbagai latar belakang akademik dan para pegiat dakwah serta pemuda Islam. 

Bacaan Lainnya

Webinar ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana dakwah dan identitas keislaman dikonstruksikan dalam medium film drama, khususnya melalui film Bidaah, dengan pendekatan fenomenologi dan kritik konten.

Pendekatan ini memungkinkan pemahaman mendalam terhadap makna yang muncul dari pengalaman religius para tokoh film dan narasi visual yang dibangun. Webinar ini dibuka oleh Abdul Lathief Syukriel Isnain, M.A..

Lathief mengatakan bahwa program ini dilaksanakan untuk mengedukasi  tentang realitas yang terjadi di masyarakat agar kiranya umat tercerahkan di samping itu kita harus melihat film ini dari segi komersial bagaimanapun film ini viral di masyarakat dan dengan penonton yang mencapai 2,5 milyar viewer.

Salah satu narasumber, Kandidat Doktor Universitas Al Azhar Mesir, Hurnawijaya Al Khairy, menyampaikan bahwa film Bidaah secara halus membingkai pertarungan ideologis antara tradisi lokal dan tafsir keagamaan yang berkembang dan nantinya menyebabkan para penonton mengidap FOMO (Fear of Missing Out) disebabkan oleh ketidakseimbangan, pembuatan naskah yang vulgar dan generalisasi aktor inti Walid dan meninggalkan sosok Hambali yang berujung pada konklusi buruknya bahkan sampai pada penyesatan pondok pesantren dan ini bisa dilihat dari komentar di berbagai media sosial.

Baca Juga: LDMI Bersama Al-Mumtaz Gelar Kegiatan Berbagi Untuk Mualaf

Selain itu, ada fenomena fanatisme yang sudah ada semenjak zaman Nabi Muhammad ﷺ dan diterangkan dalam surat Ar-Rum ayat 32 menunjukkan bagaimana narasi fanatisme buta terhadap apa yang disampaikan Walid.

Kedua, adanya relasi kuasa yang didapatkan dari sisi keagamaan karena banyak membawa dalil Al-Qur’an hanya untuk mengedepankan hawa nafsu Walid sedangkan dari aspek sosial dan politik keinginan untuk berkuasa dan mengkapitalisasi Jihad Ummah bersama dengan kroninya.

Terakhir, adanya budaya patriarki yang berkembang di negara mayoritas muslim, kita perlu menyadarkan bahwa eksploitasi terhadap perempuan dan keistimewaan terhadap laki-laki harus dihentikan ditambah dengan pemahaman mengenai surah Ali-Imran 36 yang segera diluruskan oleh Allah dengan hadirnya bayi perempuan yaitu Maryam untuk mengoreksi ketidakadilan terhadap perempuan yang kelak melahirkan sosok Nabi Isa a.s. dan makna ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ dalam surah An-Nisa ayat 34 sebagian mufassir menunjukan sifat maskulinitas dalam kepemimpinan.  

“Film ini menunjukkan bahwa identitas dakwah tidak selalu disampaikan melalui ceramah, tetapi juga melalui simbol-simbol budaya dalam film Bidaah ke semuanya diterjemahkan dalam simbol keagamaan yaitu agama Islam bahwa ulama yaitu Walid sebagai sosok otoritatif dan mampu menghubungkan antara umat dengan Allah dan Rasul. Namun secara konotatif film ini juga mengkritisi perilaku menyimpang oleh Walid karena memanfaatkan otoritasnya hanya untuk kepentingan pribadi dan memperoleh hierarki sosial dalam komunitas yaitu sosok istri Walid beserta wali-walinya. Selain itu, sosok Baiduri dan Hambali dijadikan sebagai simbol perlawanan terhadap otoritas Walid. Sinematografi juga menonjol seperti unsur pencahayaan, atmosfer yang tegang dan bahkan musik latar yang digunakan sangatlah efektif karena menggunakan instrumen tradisional khas Melayu, musik dalam film ini juga mengajak kita untuk berfikir kritis dan fokus, pengambilan gambar juga sangat baik karena mengunggah secara emosional. Melalui pendekatan fenomenologi, peserta diajak untuk melihat bagaimana pengalaman religius ditampilkan dari perspektif para karakter, seperti Walid sebagai ulama kharismatik dengan memakai jubah dan tongkat,” ujar Emir Khaddafi, M. Hum..

Baca Juga: Kolaborasi Kebaikan, LDMI Pontianak Bersama Al-Mumtaz Peduli Berbagi Makanan Sahur

Sementara kritik konten menelaah bagaimana pesan-pesan dakwah disampaikan secara eksplisit maupun implisit. Sebagaimana diutarakan Sami Muhammad Hilabi, menyoroti bahwa film ini merupakan film yang menyimpang dan mendegradisir umat Islam seperti meminum dan mencium kaki, membuat umat Islam terprovokasi, ini semua jika kita melihat sebagai penonton, akan tetapi jikalau kita melihat dari kacamata terbalik maka film ini mendasari kita untuk menambah kekuatan belajar kita dalam ilmu keislaman yg lebih kaffah.

Walaupun mengalami pro kontra, hasil akhirnya bahwa tayangan singkat film ini FYP di media sosial dan algoritmanya terus naik.

Selanjutnya Hasan Al Amri, BBA. M.Sos. menambahkan bagaimana fenomena tabarruk yang berlebihan (ghullu), nikah batin yang tidak ada sama sekali ajarannya sebagai ekspresi dari asusilanya sosok Walid, memutarbalikan makna poligami, mendiskreditkan sufi yang tidak melewati lajur syariat, jihad yang tidak mendasar, Walid yang mengaku Imam Mahdi semuanya adalah hal yang menyimpang dari agama Islam.

Tetapi, ada beberapa hal penting jika melihat dari sisi lain bahwa dari film ini kita belajar: 1) Realitas ini ada di masyarakat dan kita harus menyadarkan masyarakat luas; 2) Perlunya menjadikan warga masyarakat yang terdidik terkhusus pemuda-pemudi; 3) Perdalam ilmu syariah dan akhlak; 4) Gunakan juga akal fikiran dalam beragama; 5) Mengajarkan kembali tauhid sebagai asas beragama.

Pada akhirnya kesimpulan dalam kritik konten film Bidaah bahwa Walid adalah sosok munafik dan pengikutnya musyrik.

Citizen Reporter

Editor: IAL

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *