Pontianak – Pagi itu, embun belum sepenuhnya hilang ketika suara motor tua terdengar melintas di jalan desa. Di atasnya, seorang ibu dengan keranjang besar berisi sayur, bumbu, dan lauk sederhana. Ia berhenti di halaman rumah warga, menyapa hangat, menawarkan jenis barang dagangannya dengan suara sedikit nyaring sambil sesekali diikuti suara klakson motor sederhananya. “Ibu kenapa nggak jualan di rumah saja, kan sudah punya toko?” tanyaku suatu hari. “Kalau keliling begini lebih ramai, Nak. Bisa ketemu orang, tahu kabar, dan sekalian silaturahmi,” jawabnya sambil tersenyum.
Ibu itu bukan sekadar pedagang sayur. Ia adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai kewirausahaan syariah tumbuh di tengah kehidupan sehari-hari. Ia tidak berbicara soal teori atau istilah ekonomi, tapi menjalani maknanya: kerja keras, kejujuran, dan rasa tanggung jawab. Dari roda motornya yang berputar setiap pagi, kita belajar bahwa semangat kemandirian dan keberkahan bisa lahir dari tempat yang paling sederhana.
Nilai Syariah Yang Hidup Di Jalanan Desa
Dalam banyak pembahasan, ekonomi syariah sering dibayangkan sebagai sesuatu yang besar: bank, koperasi, atau perusahaan halal. Padahal, ruhnya ada pada nilai-nilai yang dijalankan umat di tingkat paling bawah. Ibu penjual keliling itu mungkin tidak pernah mendengar istilah “prinsip syariah”, tetapi tindakannya sudah mencerminkan makna sebenarnya: nilai-nilai kebaikan yang ia pernah pelajari, tertanam dalam hati dengan baik dan telah menjadi bagian dari keseharian tindakannya termasuk dalam ikhtiar dalam bentuk berdagang untuk mencukupi nafkah keluarganya, bekerja dengan niat baik, menjaga kejujuran, dan memberi manfaat bagi orang lain.
Ia berdagang bukan semata-mata untuk keuntungan, tetapi untuk memenuhi Amanah-membantu keuangan keluarga dan menyekolahkan anaknya di pesantren. Ia memilih berjualan keliling agar bisa bersilaturahmi dan mengenal langsung kebutuhan masyarakat di setiap desa yang ia lalui. Dalam kesederhanaannya, ia menanamkan nilai sosial dan spiritual yang menjadi dasar dari ekonomi Islam: keberkahan lebih penting daripada keuntungan besar.
Rasulullah SAW adalah teladan sempurna dalam berbisnis, di mana kejujuran (shiddiq) menjadi landasan utamanya, terbukti beliau tidak pernah menipu, mengurangi timbangan, atau menyembunyikan cacat barang dagangannya. Selain itu, beliau juga dikenal sangat ramah dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik (tabligh) dengan para pembeli, menciptakan suasana transaksi yang menyenangkan dan membangun kepercayaan yang kuat. Sikap amanah (bertanggung jawab) juga melekat pada diri beliau, terutama saat berdagang menggunakan modal orang lain, seperti yang dititipkan oleh Sayyidah Khadijah. Prinsip utama Rasulullah SAW adalah mencari keberkahan, sehingga beliau selalu mengambil keuntungan yang wajar dan menepati setiap janji bisnisnya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, usaha dagang beliau tidak hanya sukses secara materi, tetapi juga membawa nilai ibadah dan kemuliaan di mata manusia serta Allah SWT. Warisan etika bisnis mulia inilah yang kemudian menjadi pondasi bagi banyak perempuan Muslim dalam menjalankan usaha mereka.
Perempuan dan Kemandirian yang Tumbuh dari Keikhlasan
Kisah ibu tadi hanyalah satu dari jutaan kisah perempuan Indonesia yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2023 menyebutkan, lebih dari 60 persen pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan, dan sebagian besar bergerak di sektor kebutuhan rumah tangga: kuliner, sembako, kerajinan, hingga jasa kecil-kecilan.
Bagi banyak keluarga, perempuan menjadi penjaga keseimbangan ekonomi. Mereka mengatur keuangan, mencari tambahan penghasilan, sekaligus memastikan rumah tetap berjalan dengan baik. Dalam pandangan Islam, bekerja untuk menafkahi keluarga dengan cara yang halal adalah bagian dari ibadah. Seperti kata KH. Ali Yafie dalam Fikih Ekonomi Islam (2003): “Bekerja mencari rezeki yang halal, walau tampak sederhana, adalah bentuk penghambaan yang mulia”. kemuliaan suatu pekerjaan tidak diukur dari jabatan atau prestise, melainkan dari niat, cara memperoleh rezeki, dan keberkahannya. Sebuah pekerjaan yang terlihat sederhana, jika dilakukan dengan jujur dan ikhlas, akan memiliki nilai yang tinggi di sisi Allah-termasuk di dalamnya seorang perempuang yang berdagang keliling dengan kendaraannya yang sederhana, dengan barang dagangan yang mungkin juga sangat sederhana pada barang kebutuhan di dapur, jika dikerjakan dengan cara yang halal, dengan nilai kejujuran dan kebaikan lainnya akan menjadi ibadah yang mulia.
Perempuan seperti ibu penjual keliling itu menunjukkan bahwa kewirausahaan bukan monopoli orang muda atau berpendidikan tinggi. Kemandirian justru lahir dari keikhlasan dan kepedulian. Mereka mungkin tidak punya rencana bisnis rumit, tapi punya semangat yang luar biasa untuk terus bergerak – tanpa mengeluh, tanpa menunggu bantuan atau menunggu pelatihan kewirausahaan yang terjadwal.
Refleksi: Nilai yang Sering Terlupakan
Kini, banyak orang membicarakan wirausaha dalam bahasa besar: teknologi, pasar digital, investasi, dan pertumbuhan cepat. Semua terdengar canggih, tapi sering kali melupakan makna dasar dari usaha itu sendiri, yakni pengabdian dan kebermanfaatan.
Ibu penjual keliling itu justru mengingatkan kita bahwa nilai-nilai itu masih hidup. Ia tidak mengejar usaha yang “cepat berkembang”, tapi ingin rezekinya halal dan cukup. Ia tidak sibuk menghitung laba harian, tapi memastikan pembelinya senang dan merasa terbantu. Setiap kali motornya melaju dari satu desa ke desa lain, ia bukan hanya menjual sayur dan rempah, tapi juga membawa pelajaran tentang kerja keras, kesabaran, dan ketulusan.
Barangkali di situlah letak wajah sejati ekonomi syariah – bukan pada gedung tinggi dan sistem besar, tapi pada orang-orang kecil yang tetap jujur dan bertahan dengan cara yang baik.
Dari Pasar ke Peradaban
Kewirausahaan syariah sejatinya bukan proyek besar, melainkan gerakan kecil yang lahir dari kesadaran. Kesadaran bahwa perempuan bukan hanya pembeli, tapi juga penggerak roda ekonomi di lingkungan mereka. Mereka bekerja bukan karena ingin kaya, tapi karena ingin bermanfaat.
Ibu penjual keliling itu tidak menunggu bantuan siapa pun. Ia menciptakan peluang dari apa yang ia punya, dengan niat membantu keluarga dan masyarakat sekitarnya. Di tangannya, kewirausahaan menjadi jalan pengabdian- sederhana, tapi bermakna.
Maka, ketika kita bicara tentang pembangunan ekonomi umat, mungkin kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Cukup tengok ibu-ibu di jalan desa yang tetap tersenyum meski matahari meninggi, karena mereka sedang menunjukkan wajah ekonomi syariah yang paling jujur: bekerja dengan hati, berusaha dengan niat baik, dan berbagi dengan sesama.
Penulis: Choirudin (Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Ekonomi Syariah IAIN Pontianak)





