Implikasi Batas Waktu PJ Kepala Daerah Berdasarkan UU No 10 Tahun 2016

Opini – Menjelang pemilu serentak 2024, terdapat banyak sesuatu yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk menjaga tata kelola daerah yang baik. 101 kepala daerah pada 2022 dan 170 daerah pada 2023, akan kehilangan kepala daerah definitif. Posisi mereka akan digantikan oleh pejabat kepala daerah yang nama-namanya diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam jumlah yang cukup banyak diisi oleh pejabat kepala daerah, maka dari setiap daerah pasti ada kendala dalam menjalani roda kepemerintahan yang tentunya dari pejabat kepala daerah akan terdapat beberapa konsekuensi terlebih lagi bagi beberapa daerah yang sudah dipimpin oleh pejabat kepala daerah dengan jarak yang cukup lama dengan pemilu serentak 2024.

Bacaan Lainnya

Di Kalimantan Barat dalam waktu dekat, daerah yang dipimpin oleh pejabat kepala daerah adalah Kabupaten Landak. Pada 22 Mei 2022 tepat sudah 5 tahun Bupati Landak menjabat. Jangan sampai pengangkatan pejabat kepala daerah di Kabupaten Landak menjadi residu konflik sehingga bisa menghambat dalam proses pembangunan Kabupaten Landak.

Dipimpin oleh pejabat Kepala Daerah tidak seperti dipimpin oleh kepala daerah definitif. Ada batasan waktu dan batasan kewenangan yang harus diperhatikan. Implikasi bagi Penjabat Kepala Daerah diantaranya:

Pertama, pejabat kepala daerah mempunyai batasan waktu yang sudah ditetapkan UU maksimal satu tahun namun masa jabatan tersebut dapat diperpanjang dengan orang yang sama maupun orang yang berbeda. Namun jika sudah diperpanjang untuk kedua kalinya, maka harus diganti dengan orang yang berbeda sebab hal ini sebagaimana ungkapan Lord Acton, ”Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” karena setiap kekuasaan cenderung melakukan sewenang-wenangnya. Bahkan sering terjadi ada indikasi korupsi dalam penyalahgunaan jabatan terlebih lagi dipilihnya tidak dilakukan secara transparan dan memunculkan adanya lobi-lobi politik. Dalam hal ini, terdapat beberapa daerah tidak dipimpin oleh kepala daerah definitif selama 2,5 tahun.

Kedua, pejabat kepala daerah tidak sesuai dengan konsep otonomi daerah sebab salah satu dengan adanya pejabat kepala daerah tidak memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya sehingga hak rakyat dalam memilih kepala daerahnya ditangguhkan dengan waktu yang cukup lama.

Ketiga, bila pejabat dalam pembuatan kebijakan tidak memenuhi prosedur yang benar, mulai dari identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan hasil kebijakan. Salah satunya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang menjadi dasar penyusunan APBD melekat pada kepala daerah definitif. Dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah maka akan berakhir pula RPJMD. Dengan masa yang cukup lama, pejabat kepala daerah tak punya RPJMD karena RPJMD adalah turunan dari visi dan misi kepala daerah terpilih dan disusun untuk jangka lima tahunan. Jadi, daerah-daerah akan berpotensi menjadi tidak terarah dalam dua tahun ke depan karena pejabat kepala daerah tidak punya itu.

Selain dari berbicara pejabat kepala daerah yang cukup lama, ternyata ada juga pengurangan masa jabatan kepala daerah yang dilaksanakan pemilihannya tahun 2020 yang lalu. Dalam pelaksanaan pilkada 2024 yang akan datang juga diketahui adanya pembatasan jabatan kepala daerah, sebagaimana Pasal 201 ayat 7 UU No. 10 Tahun 2016 menegaskan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. Dari Pasal tersebut dapat diketahui masa jabatan kepala daerah kurang dari 5 tahun, sementara Pasal 60 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda menegaskan masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Ketetapan 5 tahun masa jabatan ini menandakan telah ditetapkan fixed-term, dalam artian tidak boleh dikurangi dan ditambah dengan dan tanpa alasan apapun kecuali kepala daerah tersebut meninggal dunia, berhenti dan karena permasalahan hukum. Pengurangan masa jabatan secara konstitusional telah tidak selaras dan bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945 ayat (1) menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 28D ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal 7 UUD 1945 yaitu: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Pengurangan masa jabatan dalam satu periode kepala daerah perlu diperjelas baik secara normatif dan substantif serta rinci mengenai masa jabatan kepala daerah hal ini untuk mencegah terjadinya multitafsir, konsekuensi luas dan akhirnya menimbulkan problematika yang dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan di Indonesia.

Saran dan masukan, pengangkatan pejabat kepala daerah harus dipertegas seperti proses pemilihan kepala daerah yang sudah terdapat pada Pasal 7 UUD 1945. Bahwa pejabat kepala daerah tidak boleh dipilih lebih dari dua kali atau singkatnya lebih dari dua tahun. Sebagaimana terdapat beberapa kepala daerah kosong yang jaraknya menuju pilkada serentak lebih dari dua tahun. Sehingga jika pejabat kepala daerahnya memimpin dari awal kepala daerah definitifnya selesai sampai terpilih kepala daerah definitif itu sangat melahap waktu yang cukup lama dan membuat masuknya beberapa intrik-intrik politik.

Pengangkatan pejabat kepala daerah Kemendagri harus menindaklanjuti perintah MK, yang harus membentuk aturan pelaksana mengenai mekanisme pengisian pejabat calon kepala daerah agar penunjukan calon pejabat dinilai transparan dan demokratis sehingga menekan terjadinya kepentingan politik tertentu. Mahkamah Konstitusi sudah memberikan solusi yang cukup baik agar dalam pengangkatan pejabat kepala tidak ada tendensi politik atau transaksi jabatan serta menghilangkan kecurigaan publik terhadap Kemendagri dalam melakukan pengangkatan pejabat publik.

Penulis: Muhammad Hakiki (Mahasiswa Pasca Sarjana/ Magister Hukum Univ. Indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *