Kasus yang melibatkan Bahar kembali ramai dibicarakan publik. Dalam pemberitaan dan kesaksian seorang perempuan, ia mengaku telah dinikahi oleh Bahar namun kemudian ditelantarkan tanpa nafkah, bahkan setelah memiliki anak.
Pengakuan ini memicu gelombang kritik, karena menikahi lalu meninggalkan tanpa tanggung jawab adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun—apalagi jika pelakunya adalah figur agama.
Tak lama setelah isu ini mencuat, Bahar muncul membuat klarifikasi di media sosial bersama istri pertamanya. Ia menyatakan bahwa meskipun ia menikah lagi, cintanya hanya untuk istri pertamanya. Dengan kata lain, ia mengakui pernikahan itu tetapi menegaskan bahwa “ia tidak cinta”.
Pernyataan ini tentu mengundang tanda tanya: bagaimana mungkin seseorang melegalkan hubungan pernikahan namun tidak berkomitmen pada kewajiban yang menyertainya?
Menikah dalam Islam Bukan Sekadar Legalitas Seksual
Dalam Islam, pernikahan bukanlah jalan pintas untuk melegalkan hubungan biologis. Ia adalah institusi sakral yang membawa tanggung jawab besar. Suami wajib memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya.
Allah berfirman: Artinya, “Ibu-ibu hendak menyusui anaknya dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah adalah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut,” (QS. Al-Baqarah: 233).
Dalam ayat tersebut digambarkan pembagian peranan yang jelas antara seorang ayah dan seorang ibu, peranan utama ibu adalah merawat anaknya dengan cara memastikan kesehatan dan nutrisinya sedangkan tugas seorang ayah adalah untuk mencarikan biaya dan penunjang hidup untuk keduanya.
Menurut Imam Fakhrur Razi dalam tafsirnya, pembagian tugas tersebut dijalankan pada dasarnya sebagai bentuk upaya agar sang ibu dapat fokus untuk merawat dan menjaga anaknya dan tidak terbebani dengan urusan finansial (Fakhru al-Razi, Tafsir Fakhru al-Razi, Dar al-Fikr, Jilid II, h.110).
Terdapat hadits yang secara spesifik menjelaskan tentang wajibnya seorang suami memberi nafkah pada istri dan anaknya yakni hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Ra: Artinya, “Diceritakan dari Sayyidah Aisyah Ra, Hindun binti Utbah istri dari Abi Sufyan mendatangi nabi kemudian ia berkata: wahai Rasulallah sesungguhnya Abi Sufyan adalah pria yang pelit ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagi saya dan anak saya, kecuali saya memenuhinya dengan harta yang saya ambil tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa atas hal tersebut? Nabi menjawab ambillah dari hartanya dengan cara yang baik dengan jumlah yang dapat mencukupimu dan anakmu.” (Muttafaq Alaihi) (Ibn Hajar al-Astqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, h.57).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa seorang suami memiliki kewajiban untuk memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Dalam kajian fikih, kewajiban seorang suami dalam memberi nafkah terhadap istri dan anaknya tidak berlaku secara mutlak namun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing keduanya.
Adapun syarat kewajiban nafkah suami terhadap istri adalah selama sang istri memasrahkan dirinya dan mematuhi perintah suami.
Baca Juga: Urgensinya Merawat Tunas Muda Muslim Melalui Ukhuwah Islamiyah di Tengah Lukanya di Tubuh Ummat
Sedangkan nafkah anak harus dipenuhi jika anak memiliki salah satu tiga sifat yakni masih kecil, mengalami disabilitas, atau fakir (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, Dar al-Kutub al-Alamiyyah, h.187).
Terkait seorang suami yang tidak memberi nafkah untuk istrinya, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Cukuplah seseorang berdosa bila ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud).
Dari ayat dan hadis ini jelas bahwa seorang suami tidak boleh menelantarkan istrinya—apalagi sampai tidak menafkahi. Maka pernikahan yang hanya dijadikan kedok untuk memenuhi hasrat biologis tanpa tanggung jawab adalah bentuk penyimpangan dari ajaran Islam.
“Habib Milik Umat”—Alasan yang Tidak Tepat

Istri pertama Bahar menyatakan bahwa suaminya adalah “milik umat”. Karena itu, menurutnya wajar bila ia sering pergi dan meninggalkan keluarga. Masalahnya, publik tidak mempermasalahkan kepergian, tetapi penelantaran dan tidak dipenuhinya nafkah terhadap perempuan yang dinikahi.
Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah mengajarkan bahwa dakwah membolehkan menelantarkan keluarga. Bahkan ada sebuah hadis ketika seorang sahabat ingin ikut berperang bersama Rasulullah ﷺ, namun beliau menolak dan berkata: “Pulanglah kepada kedua orang tuamu, dan berbuat baiklah kepada keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, Utsman bin Affan (Khalifah ketiga) yang tidak mengikuti Perang Badar karena diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk merawat istrinya, Ruqayyah binti Muhammad, yang sedang sakit parah dan membutuhkan pendampingan (HR. Bukhari).
Artinya, bahkan jihad pun bisa tertunda bila ada keluarga yang membutuhkan. Lalu bagaimana mungkin seseorang mengaku berdakwah tetapi mengabaikan tanggung jawab dasar terhadap keluarga?
Baca Juga: Menggunakan Media Teknologi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Opini Pribadi: Menikah Hanya Demi Seks adalah Perbudakan Nafsu
Menurut saya, siapapun yang menjadikan pernikahan hanya sebagai legalitas untuk menyalurkan hasrat tanpa komitmen, tanpa tanggung jawab, dan tanpa kasih sayang, maka ia tidak lebih dari budak nafsu. Pernikahan bukan objek syahwat yang bisa diperlakukan sesuka hati. Pernikahan adalah amanah.
Mengapa saya menyebut “Pak Bahar itu bukan Habib”?
Istilah Habib bukanlah gelar sembarangan. Ia adalah sebutan untuk keturunan Rasulullah ﷺ—yang tidak hanya memiliki garis nasab, tetapi juga memikul tanggung jawab moral untuk meneladani akhlak, ilmu, dan sifat Nabi.
Dalam tradisi Ba ‘Alawi, Habib adalah gelar bagi ulama keturunan Nabi yang berakhlak mulia, berilmu, beradab, dan menebarkan kedamaian. Jadi, gelar Habib bukan sekadar “keturunan”, melainkan kualitas akhlak.
Karena itu, saya tidak bisa sembarangan mengakui seseorang sebagai Habib hanya karena nasab, apalagi jika perilakunya jauh dari teladan Rasulullah ﷺ.
Contoh Habib yang benar: Habib Umar bin Hafidz.
Saya pribadi sangat menghormati Habib Umar bin Hafidz. Bukan semata-mata karena beliau keturunan Nabi, tetapi karena akhlak, kelembutan, ilmu, dan dakwahnya mencerminkan keteladanan Rasulullah ﷺ. Dakwahnya menyejukkan, bukan memprovokasi. Sikapnya mengayomi, bukan memecah belah.
Saya akan menyukai pendakwah mana pun—entah ia Habib, Kiai, Ustaz, atau bukan siapa-siapa—selama ia meneladani akhlak Rasulullah dan menyebarkan kedamaian, bukan kemarahan.
Penutup: Bahar bukan Habib
Karena itu semua, saya menilai bahwa Pak Bahar bukanlah Habib dalam makna sejatinya. Perilaku yang dilaporkan dalam kasus ini menunjukkan bahwa ia menjadikan pernikahan sebagai alat pemuasan nafsu, bukan amanah yang harus ditanggung dengan tanggung jawab.
Menikah sana-sini lalu menelantarkan bukan hanya mencoreng nama baik keluarga, tetapi juga melukai nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Wallahu a’lam.
Penulis: Albi Rosadi





