Opini, ApaKalbar.com – Pemilihan umum merupakan salah satu sarana demokrasi dan bentuk perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang aspiratif, berkualitas, serta bertanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat dapat dicapai dengan cara terpilihnya pemimpin sebagai wakil rakyat.
Adapun dalam pemilihan umum yang pada sejatinya telah dicita-citakan bersama terciptanya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Namum pada kontekstualitas di lapangan akan terjadi kerawanan pada tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.
Peran pengawasan partisipatif sangat diperlukan. Roh dalam pengawasan partisipatif adalah dengan melibatkan masyarakat untuk meminimalisir semua pelanggaran Pemilu dan Pilkada yang dilakukan oleh pihak terkait.
Kelebihannya, apabila masyarakat ikut berperan aktif untuk mengawasi proses tahapan Pemilu di lapangan karena masyarakat yang cenderung tidak terlihat dan tidak dikenal oleh pihak terkait dibandingkan dengan PanWas Pemilu sehingga masyarakat akan lebih mudah memantau proses Pemilu dan pemilihan.
Urgensi pengawasan partisipatif Pemilu karena Pemilu di Indonesia kompleks sehingga rentan terjadi pelanggaran Pemilu.
Pengawas Pemilu yaitu Bawaslu berpayung hukum pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur, Bupati, dan Walikota.
Menurut penulis dalam mengawasi pemilihan umum keberadaan Bawaslu saja tidak cukup, harus adanya pengawasan pertisipatif dari masyarakat.
Dalam pengawasan partisipatif, masyarakat diharapkan mampu terlibat dalam beberapa hal.
Pertama, memberikan masukan dalam perencanaan anggaran agar dapat dilaksanakan efektif dan efisien.
Kedua, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, PKPU, Perbawaslu, dengan uji publik agar linier terhadap UU demi terciptanya Pemilu yang luber dan jurdil.
Ketiga, masyarakat diharapkan aktif memastikan diri, keluarga dan warga setempat yang memenuhi syarat terdaftar dalam DPS dan DPT.
Memastikan yang tidak berhak menjadi pemilih agar dicoret dalam DPS/ DPT. Memastikan masyarakat yang tidak bisa memilih karena belum berusia 17 tahun/ belum menikah pada hari H.
Membantu memastikan kembali pemilih ganda, meninggal dunia, pemilih tidak dikenal/ pindah domisili. Dan memastikan warga negara asing untuk dicoret dalam DPS/DPT begitupun dengan TNI dan POLRI.
Masyarakat juga diharapakan memberikan masukan kepada kredibilitas calon saat penelitian admistrasi seperti keaslian ijazah, dukungan pencalonan DPD dengan syarat E-KTP. Selain itu, masyarakat juga perlu memperhatikan CaLeg mantan pidana korupsi dan kejahatan pada saat pencalonan.
Pada masa kampanye yang sangat panjang dimana peserta Pemilu meyakinkan pemilih dengan menyampaikan visi misi, program atau citra diri mereka. Pelanggaran pada masa kampanye juga sangat banyak seperti politik uang/ barang/ jasa, kampanye tanpa STTP dari kepolisian setempat, memasang APK/ BK di luar ketentuan, melibatkan pihak yang dilarang dalam kegiatan kampanye, pelanggaran netralitas ASN, TNI/ POLRI, dan kampanye hoax. Dari pelanggaran kampanye tersebut masyarakat diharapkan berpartisipasi untuk melaporkan dugaan pelanggaraan kampanye kepada pengawas Pemilu.
Maka dari itu pengawasan partisipatif menjadi amat urgensi terkait pemantauan, pengawasan serta pencegahan hal-hal yang dapat merusak esensi filosofi sosiologis dari pemilihan umum.
Untuk itu pengawasan partisipatif oleh masyarakat akan menjadi solusi untuk kemajuan demokrasi yang ada di Indonesia.
Kehendak inilah yang akan mendorong semua pihak untuk menjaga keberlangsungan kualitas demokrasi di Indonesia. Sehingga akan melahirkan pemimpin dari pemilihan umum yang berkualitas dan berintegritas menuju Indonesia emas.
Oleh: Reflian Wahyu, Alumni SKPP BAWASLU RI